This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 07 September 2012

Seri-17 (Rincian Bekerja Di Dinas Pemerintahan Thoghut))

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Sesungguhnya bekerja di dinas milik pemerintahan thaghut adalah ada rincian sebagaimana berikut ini:
<1>. Setiap pekerjaan yang merupakan pembuatan hukum, pemutusan dengan hukum buatan, pembelaan kepada thaghut atau sistemnya, mengikuti atau menyetujui sistem thaghut, ada syarat sumpah atau janji setia kepada thaghut atau sistemnya, maka semua ini adalah KEKAFIRAN.

A. PEKERJAAN YANG MERUPAKAN PEMBUATAN HUKUM
Pembuatan hukum adalah hak khusus Rububiyyah Alllah Ta’ala karena Dia adalah yang menciptakan maka hanya Dia-lah dzat yang berhak menentukan hukum bagi ciptaan-Nya, Dia Ta’ala berfirman:

أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah…” (Al A’raf: 54)

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ

“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah…” (Al An’am: 57)

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” (Yusuf: 40)

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ

“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah” (Yusuf: 67)
Allah Ta’ala tidak menyertakan satu makhluk pun di dalam hak khusus pembuatan hukum ini baik itu malaikat ataupun para nabi, karena hanya Dia-lah dzat yang menciptakan:

وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً

“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)
Dan di alam qira-ah Ibnu Amir yang mutawatir di baca:

وَلَا تُشْرِكْ فِي حُكْمِهِ أَحَداً

“Dan janganlah kamu mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ ٦٨ وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ ٦٩ وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ ٧٠

“Dan Tuhan mu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhan mu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nya lah Segala Puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya lah Segala Penentuan Hukum dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (Al Qashash: 68-70)

لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Dan bagi-Nya lah segala penetuan hukum dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (Al Qashash: 88)
Serta ayat-ayat muhkamat lainnya yang menjelaskan bahwa penetuan hukum baik hukum kauniy mapun hukum syar’i adalah hak khusus Allah ta’ala yang bila sebagiannya disandarkan atau dipalingkan kepada selain-Nya maka itu berarti bentuk penyekutuan terhadap-Nya, bentuk pengangkatan tuhan selain-Nya dan bentuk pengangkatan tandingan bagi-Nya, sedangkan itu adalah kekafiran.

ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِم يَعْدِلُونَ

“Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka” (Al An’am: 1)
Bila orang yang menyandarkan hak tersebut kepada selain Allah Ta’ala adalah divonis MUSYRIK lagi KAFIR, maka bagaimana halnya dengan orang yang mengakui hak pembuatan hukum itu ada pada dirinya atau kelompoknya atau lembaganya, maka tidak ragu lagi bahwa orang semacam ini lebih KAFIR LAGI karena mengakui dirinya tuhan, walaupun dia tidak membuat hukum, sebagaimana yang diklaim oleh lembaga-lembaga legislatif dengan semua tingkatannya dan para anggota di dalamnya yang diberi kewenangan pembuatan UUD atau UU seperti yang tertuang di dalam UUD 1945.

وَمَن يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِّن دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ

“Dan barangsiapa diantara mereka mengatakan: “sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim” (Al Anbiya: 29)
Kami adalah para anggota legislatif yang berwenang membuat UU makna artinya kami adalah tuhan-tuhan selain Allah. Orang-orang semacam ini lebih KAFIR daripada para nabi palsu seperti Musailamah Al Kadzdzab dan yang lainnya.
Para pembuat hukum dan UU itu telah divonis dengan berbagai vonis yaitu: arbab, wali-wali syaitan, sekutu-sekutu yang disembah, thaghut dan aulia (pemimpin-pemimpin) kesesatan, serta orang-orang bodoh.

اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At Taubah: 31)
Bentuk pentuhanan diri yang dilakukan ‘alim ‘ulama dan para rahib di sini adalah pembuatan hukum yang mereka lakukan, dimana RasulullahShallallahu ‘Alaih Wa Sallam berkata dalam hadits hasan perihal tafsir ayat ini kepada Adiy ibnu Hatim radliyallahu ‘anhu “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian (ikut) menghalakannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian kalian (ikut) mengharankannya?” Adiy menjawab: “Ya”, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaih Wa Sallam berkata: “Maka itulah peribadatan kepada mereka.”
Dan itu adalah yang dilakukan para legislatif dan pejabat tertentu yang diberikan kewenangan pembuatan hukum dan UU. Jadi setiap person para anggota legislatif adalah MUSYRIK KAFIR lagi dipertuhankan selain Allah ta’ala, dan MURTAD bila asalnya muslim dan bila mengatasnamakan ajaran maka dia itu orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah ta’ala.

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْكَافِرِينَ

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang kafir?” (Al ‘Ankabut: 68)
Mereka juga divonis sebagai wali-wali syaithan, sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah kefasiqan. Sesungguhnya syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (Al An’am: 121)
Ayat ini di antaranya berkaitan dengan perdebatan anatara Aulia Ar Rahman dengan Aulia Asy Syaithan (kafirin Quraisy), dimana orang-orang kafir menghalalkan bangkai dan mendebat kaum muslimin agar ikut menghalalkannya, Al Hakim meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma mereka berkata: “Apa yang disembelih Allah maka kalian tidak memakannya, sedang yang kalian sembelih maka kalian memakananya; maka Alllah menurunkan… Sesungguhnya syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu…”. Di sini hanya satu hukum saja yaitu pengahalalan bangkai, namun Allah ta’ala memvonis orang yang menurutinya sebagai orang musyrik, dan pembuatnya sebagai wali (kawan) syaithan, dan hukum itu sebagai wahyu (bisikan) syaithan.
Sedangkan yang dilakukan para anggota legislatif adalah lebih dari itu; penghalalan (pembolehan atau peniadaan sangsi) yang haram, pengaharaman (penetapan sebagai kejahatan dan tindak pidana atau penetapan sangsi) hal yang halal, dan pembuatan ketentuan-ketentuan yang menyelisihi syari’at Allah ta’ala, maka mereka itu adalah wali-wali syaithan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang dikala menghalalkan suatu yang haram yang telah di ijma’kan atau mengharamkan suatu yang halal yang sudah di ijma’kan atau mengganti aturan yang sudah di ijma’kan, maka dia itu kafir lagi murtad dengan kesepakatan para fuqaha” (Majmu Al Fatawa)
Mereka juga adalah syuraka (sekutu-sekutu) yang disembah selain Allah sebagaimana firman Nya ta’ala:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien yang tidak diijinkan Allah” (Asy Syura: 21)
Sedangkan diantara makna Dien adalah hukum atau UU, sebagaimana firman Nya ta’ala:

مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ

“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut dien (UU) raja” (Yusuf: 76)
Jadi para pembuat hukum atau UU itu adalah yang disembah selain Allah ta’ala dengan ketaatan para aparat penegak hukum kepada hukum buatan mereka itu “…dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik…” (Al An’am: 121) ”…mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…” (At Taubah: 31) berikut tafsir hadits bahwa ibadah di ayat ini adalah ketaatan kepada hukum buatan mereka, sedangkan ketaatan atau kekomitmenan merujuk kepada hukum selain Allah ta’ala adalah ibadah kepada si pembuat hukum itu.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah berkata: “Bahwa setiap orang yang itiba’ (mengikuti) aturan, uu dan hukum yang menyelisihi apa yang allah ta’ala syari’atkan lewat lisan rasul nya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia itu musyrik kepada allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai tuhan.” (Risalah Al Hakimiyah Fi Tafsir Adlwail Bayan), dan beliau berkata juga: “Penyekutuan di dalam hukum adalah sama seperti penyekutuan di dalam ibadah.”
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Ulama telah ijma’ bahwa barang siapa memalingkan sesuatu dari dua macam doa kepada selain Allah maka dia itu musyrik meskipun mengucapkan laa ilaaha illallah, dia shalat dan shaum serta mengaku muslim” (Ibthalut Tandid: 76). Dua doa disini adalah doa ibadah dan doa mas-alah (permintaan), sedangkan penyandaran ketaatan adalah termasuk doa ibadah. Itu orang yang menyandarkan, maka bagaimana halnya dengan orang yang menerima penyandaran ibadah dan mengajak manusia kepadanya seperti para anggota legislatif itu…! Sungguh mereka lebih kafir dari Musailamah dan Mirza Ghulam Ahmad serta para pengaku nabi lainnya. Mereka juga adalah thaghut sebagaimana firman Nya ta’ala:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيداً

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk kafir kepada thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisa: 60)
Thaghut di dalam ayat ini di antaranya adalah para pembuat hukum, Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata perihal tokoh para thaghut yang kedua: ”Penguasa yang aniaya dan merubah aturan-aturan Allah” (Risalah Fi Ma’na Thaghut di dalam Majmu’ah At Tauhid). Jadi semua anggota legislatif itu adalah thaghut yang diibadati, sama seperti patung-patung yang dipajang di candi Borobudur, bila patung-patung itu diibadahi dengan doa, sesajian dan ritual lainnya, maka berhala-berhala berdasi di biara parlemen dan gedung dewan itu diibadati dengan ditaati hukum hasil buatannya…

أَأَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

“manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf: 29).
            Mana yang lebih baik, hukum yang diturunkan Allah ta’ala yang mengetahui segalanya ataukah hukum buatan orang-orang kafir dan murtad yang memiliki aneka macam kepentingan dan selalu ditemani syaithan…?
Mereka juga divonis sebagai pemimpin-pemimpin kesesatan sebagaimana firman Nya:

اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah mengikuti aulia (pemimpin-pemimpin) selain-Nya” (Al A’raf: 3)
Apa yang digulirkan oleh para anggota legislatif itu jelas bukan apa yang Allah turunkan, sehingga mereka itu adalah para pemimpin kesesatan dan kekafiran yang mengajak manusia kepada hukum (dien) mereka yang zalim seluruhnya walaupun mereka menyebutnya sebagai keadilan, karena syirik adalah kezaliman yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang sangat besar“(Luqman: 13)
          Mereka juga divonis sebagai orang-orang bodoh, sebagaimana firman-Nya ta’ala:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (Al Jatsiyah: 18)
            Jadi para anggota legislatif itu adalah orang-orang yang tidak mengetahui alias orang bodoh, karena semua orang kafir pada hakikatnya adalah orang-orang yang bodoh,sebagaimana firman-Nya ta’ala:

قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ

“Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah hai orang-orang yang bodoh…?” (Az Zumar: 64),
Ini karena :

لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ

“Mereka mempunyai hati, tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunya mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Alla). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (Al A’raf: 179)
Itulah vonis-vonis Allah ta’ala bagi para anggota legislatif (MPR, DPR, DPRD dan yang serupa itu) dan bagi para pembuat hukum atau UU dan para pengklaim memiliki kewenangan itu walau tidak membuat. Maka masih adakah yang meragukan kekafiran mereka…? atau adakah orang yang memberi udzur sebagian mereka dengan udzur takwil atau ijtihad dan yang serupa itu padahal dia tidak mengudzur yang kekafirannya di bawah kekafiran para pengaku tuhan itu…?
Sungguh tidak ada yang meragukan kekafiran mereka kecuali orang kafir seperti mereka atau para penganut paham bid’ah yang berpijak di atas syubhat, atau katak dalam tempurung yang tidak mengetahui realita yang terjadi di sekitarnya...

B. PEKERJAAN YANG MERUPAKAN PEMUTUSAN DENGAN HUKUM BUATAN
Pekerjaan pemutusan dengan selain hukum Allah ta’ala yang merupakan pekerjaan para yudikatif dan eksekutif, yaitu seperti para hakim, para jaksa dan para pejabat adalah pekerjaan kekafiran dengan sendirinya. Selain mereka memutuskan dengan hukum thaghut, mereka juga sudah pasti tahakum (merujuk hukum) kepada hukum thaghut yang menjadi sandarannya, sedangkan masing-masing dari keduanya merupakan kufur akbar.

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (Al Maidah: 44)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (Al Maidah: 45)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”(Al Maidah: 47)
            Ayat-ayat ini dengan rentetan ayat sebelumnya adalah berkaitan dengan orang yang meninggalkan hukum Allah ta’ala dan malah merujuk kepada hukum tandingan yang mereka sepakati sebagai rujukan. Al Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Al Bara ibnu ‘Azib radliyallahu’anhu berkata: “Dilewatkan kepada Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam seorang Yahudi yang wajahnya dipoles hitam lagi di dera, maka beliau memanggil mereka dan berkaata: “Seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab kalian?”, mereka berkata: “ya”, maka beliau memanggil seorang dari ulama mereka, terus berkata: “Saya ingatkan kamu dengan Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab kalian?”, maka dia berkata: “tidak, demi Allah, seandainya kamu tidak mengingatkan saya dengan hal ini tentu saya tidak mengabarkan kepadamu. Kami mendapatkan had pezina di kitab kami itu rajam, namun tatkala hal itu banyak dikalangan para bangsawan kami, maka kami bila seorang bangsawan berzina kamipun membiarkannya, dan bila orang lemah berzina maka kami tegakkan had itu kepadanya. Kemudian kami berkata: “Mari kita sepakati agar kita menjadikan sesuatu (hukuman) yang kita tegakkan terhadap bangsawan dan orang papa”, maka kami pun sepakat terhadap tahmim (pemolesan wajah dengan warna hitam) dan dera”.
Di sini mereka tidak menghapus hukum Allah ta’ala yang ada di dalam Taurat dan mereka juga tidak menghalalkan zina, namun mereka menyepakati hukum lain yang diterapkan di tengah mereka. Dan orang-orang yang memutuskan dengan hukum buatan pada zaman ini juga sama seperti mereka, sehingga vonis yang diterapkan kepada orang-orang itu juga sama dengan yang disematkan kepada mereka “…maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”, dan ulama sepakat bahwa gambaran yang sama dengan sebab turun ayat adalah masuk secara qath’iy di dalam hukum yang ada di ayat itu.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa meninggalkan aturan baku yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum yang sudah dinaskh (dihapus), maka dia telah kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk hukum kepada Alyasa (Yasiq) dan lebih mendahulukannya terhadap (aturan Muhammad) itu, maka dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).
Sedangkan Alyasa (Yasiq) itu adalah kitab hukum yang disusun oleh Jengish Khan yang diambil dari gabungan hukum Islam, Yahudi, Nasrani, ahli bid’ah dan pikiran dia sendiri, sama seperti yang dibuat oleh pemerintahan thaghut negeri ini dimana mereka merangkum dari Islam (dipakai di Pengadilan Agama yang disebut akhwal syakhshiyyah kaitan dengan nikah, cerai dan warisan), dari Yahudi dan Nasrani (seperti KUHP dan yang lainnya sisa penjajahan Belanda dan dipakai sekarang oleh penjajah lokal) dan dari buah pikiran para arbab di parlemen atau di lembaga lainnya, yang semua tidak terlepas dari batasan Yasiq terbesarnya yaitu UUD 1945 yang sering ditambal sulam.
Pemerintah, pejabat, hakim dan jaksa semuanya meninggalkan ajaran Allah ta’ala dan malah memutuskan dan merujuk kepada Yasiq modern, maka mereka kafir dengan ijma kaum muslimin, bahkan mereka itu salah satu tokoh thaghut, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah bahwa diantara tokoh para thaghut yang ketiga: Yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan, dan dalilnya adalah firman-Nya ta’ala“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Risalah Fi Ma’na Thaghut, Majmu’ah At Tauhid). Vonis ini walaupun dalam satu hukum saja, seperti dalam sebab nuzul ayat itu.
C. PEKERJAAN YANG SIFATNYA PEMBELAAN KEPADA THAGHUT ATAU SISTEMNYA
Dan ini biasa para pelakunya dinamakan Anshar Thgahut seperti Tentara, Polisi, Intelejen dan yang lainnya yang bertugas mengokohkan thaghut atau sisitemnya atau kedua-duanya baik dengan lisan maupun dengan fisik dan senjata. Thaghut atau sistemnya tidak akan kokoh dan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa anshar yang membelanya, melindunginya dan selalu siap siaga berperang di jalannya, oleh sebab itu Allah menamakan anshar thaghut (bala tentaranya) bagai pasak, sebagaimana firman-Nya ta’ala:

وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ ١٠ الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ ١١ فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ ١٢

“Dan Fir’aun yang memiliki pasak-pasak (tentara yang banyak) yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka membuat banyak kerusakan dalam negeri itu” (Al Fajr: 10-12)
            Oleh sebab itu sanksi dunia dan akhirat pun sama-sama didapatkan oleh thaghut dan pembantunya berikut ansharnya sebagaiman firman-Nya ta’ala:

فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ

“Maka Kami siksa dia (Fir’aun) dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut”. (Adz Dzariyat: 40),
dan firman-Nya ta’ala:

إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ

“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah”. (Al- Qashash: 8),
dan firman-Nya ta’ala:

فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ ٤٠ وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنصَرُونَ ٤١

 “Maka Kami hukumlah Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong”. (Al- Qashash: 40-41).
Anshar Thaghut itu ada dua:
1.   Orang atau dinas yang membela thaghut dengan fisik dan senjata seperti tentara, polisi, intelijen, dan yang lainnya yang dibentuk dan dipersiapkan untuk itu.
2. Orang atau dinas yang membela thaghut atau sistemnya dengan lisan atau tulisan, baik itu wartawan atau para cendikiawan dan juga para ulama atau du’at suu’ yang menetapkan keabsahan pemerintahan thaghut ini dan mencap kaum muslimin yang berjihad melawannya sebagai para pembangkang atau khawarij. Dan sikap para ulama dan du’at suu’ ini lebih berbahaya daripada sikap tentara dan polisi terhadap umat, karena mereka berbicara atas Nama Allah ta’ala dalam membela para thaghut itu di hadapan umat, sedangkan tentara dan polisi bertindak atas dasar dunia (gaji dan pensiun). Adapun dalil-dalil perihal kekafiran anshar thaghut ini maka dari Al Qur’an, As Sunnah dan ijma.
Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ آمَنُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُواْ أَوْلِيَاء الشَّيْطَانِ

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan Thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu. (An Nisa: 76).
            Nash yang tegas menyatakan bahwa orang yang beperang di jalan thaghut adalah orang-orang kafir.

قُلْ مَن كَانَ عَدُوّاً لِّجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللّهِ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ ٩٧ مَن كَانَ عَدُوّاً لِّلّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللّهَ عَدُوٌّ لِّلْكَافِرِينَ

”Katakanlah: barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkan (Al-Qur’an) kedalam hatimu dengan seijin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman. Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (AL Baqarah: 97-98).
            Al Imam Ahmad, At Tirmidzi, dan An Nasai, meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhuma bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kabarkanlah kepada kami siapa kawanmu?”, beliau menjawab: “Jibril”. Mereka berkata: “Jibril itu yang turun dengan (membawa) pertempuran, peperangan dan azab, musuh kami? andaikata kamu mengatakan Mikail yang turun dengan rahmat, tanaman dan hujan tentu ia lebih baik”, maka turun ayat di atas.
            Orang yang memusuhi Jibril yang merupakan salah satu utusan Allah ta’ala dari kalangan malaikat, maka dia adalah musuh bagi Allah, malaikat-malaikat-Nya dan semua rasul-Nya, dan dia itu divonis kafir oleh Allah ta’ala. Dan begitu juga orang yang memusuhi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu adalah musuh bagi Allah, semua malaikat dan semua rasul, dan dia itu adalah orang kafir.
            Sedangkan bentuk permusuhan terhadap Allah ta’ala dan Rasul-Nya macam apa yang lebih dahsyat dari sikap thaghut dan ansharnya yang mencampakkan hukum Allah ta’ala, menjunjung tinggi hukum syaitan, meninggikan orang-orang kafir dan orang-orang murtad serta orang-orang bejat dan mereka malah mempersulit orang-orang yang bertauhid, memenjarakan dan membunuhi mereka, melapangkan jalan bagi setiap perusak ajaran Allah ta’ala dan membatasi gerakan para penyeru tauhid, mematikan tauhid dan menghidupkan syirik dan kerusakan…?!!
            Dan anshar thaghut adalah dipersiapkan untuk menjaga keamanan sistem kafir dan mempertahankan negara kafir dari setiap upaya yang ingin merubahnya dengan sistem yang diturunkan Allah ta’ala, oleh sebab itu mereka adalah kafir baik berperang melawan kaum muwahhidin ataupun bukan, karena sikap mereka tawalliy (loyalitas yang megeluarkan dari Islam) kepada syirik, dan bila memerangi muwahhidin maka mereka menggabungkan antara tawalliy kepada syirik dengan tawalliy kepada orang-orang musyrik.

أَلَمْ تَر إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَداً أَبَداً وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ”Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian dan kami selama lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk menyulitkan kamu, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (Al Hasyr: 11).
Allah tala mempertalikan ukhwah kufuriyyah (persaudaraan kekafiran) antara orang orang munafik yang dhahirnya Islam dengan orang orang Yahudi, yaitu Allah ta’ala menvonis mereka kafir, dengan sebab janji mereka untuk membantu orang orang Yahudi itu bila diserang kaum muslimin, padahal janji mereka itu dusta, maka bagimana halnya dengan orang orang yang secara rutin berikrar janji dan sumpah untuk membela thaghut dan sistemnya bila ada rongrongan musuh (yang di antarannya mujahidin muwahhidin), dan mereka selalu siap siaga kapan saja dipanggil dan mereka sebelumnya bersaing untuk masuk dalam barisan itu ?. Bukankah itu realita tentara dan polisi serta yang serupa itu di negeri ini ?, janganlah ragu terhadap kekafiran mereka secara ta’yin. Andai tidak ada janji dan sumpah itu, tetap saja mereka itu kafir karena dzat dinas dan tugas mereka sejak awal adalah membela thaghut dan sistemnya, sedangkan sumpah dan janji itu adalah penambahan bagi kekafiran mereka. Mereka itu kafir saat perang, atau shalat atau haji atau tidur selama belum berlepas diri dari kekafiran mereka itu.
Bagaimana tentara, polisi juga intelejen serta anshar qanun (pembela undang-undang) yang dinas di penjara-penjara thaghut bisa disebut muslim sedangkan mereka tidak kafir kepada thaghut (Pancasila, UUD dan undang-undang turunannya) yang merupakan salah satu dari dua rukun laa ilaaha illallaah. 
Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata: “Sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan syirik akbar dan kufur kepada thaghut, maka sesungguhnya (pengucapan) itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma”. (Taisir Al Aziz Al Hamid, dinukil dari Al Haqaiq, Syaikh Ali Al Khudlair).
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan ucapan kekafiran maka dia kafir, walupun dusta, maka apa gerangan bila dia serius ?.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits yang globalnya ada dalam Shahih Al Bukhari memperlakukan Al ‘Abbas yang berada di barisan anshar thaghut Quraisy sebagaimana perlakukan terhadap orang kafir, dimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menawannya dan menyuruhnya untuk menebus dirinya, padahal dia itu mengaku muslim dan mengaku dipaksa ikut perang Badr, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menoleh kepada pengakuan dan klaimnya itu dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Dhahir kamu di barisan kaum musyrikin memerangi kami, adapun rahasia bathin kamu maka urusan itu atas Allah, tebus diri kamu dan dua keponakanmu !” (Fathul Bariy).
Di sini jelas takfir mu’ayyan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada individu anshar thaghut walaupun dia mengaku dipaksa, beliau shallallahu‘alaihi wa sallam menghukumi dia kafir secara dhahir, dan batinnya diserahkan kepada Allah ta’ala dengan sebab pengakuan dipaksanya itu.
Maka bagaimana gerangan dengan tentara, polisi, intelejen dan anshar thaghut hukum lainnya (sipir penjara) yang tidak dipaksa dan mereka bersaing saat mendaftar, bangga dengan korpsnya dan seragamnya, merasa pada posisi kuat dengan menjadi penyembah thaghut itu…?!!

وَاتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لِّيَكُونُوا لَهُمْ عِزّاً

“Dan mereka telah mengambil tuhan-tuhan selain Allah, agar tuhan-tuahn itu menjadi pengokoh (pelindung) bagi mereka”. (Maryam 81).
Dan mereka lakukan itu demi menggapai dunia (gaji dan tunjangan)

ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir”. (An Nahl: 107)
Dan mereka selalu siap siaga kapan saja dipanggil serta kekafiran-kekafiran lainnya. Maka jangan ragu-ragu terhadap kekafiran mereka secara ta’yin. Ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lebih wara’ dan lebih hati-hati daripada kamu, tapi beliau mengkafirkan secara mu’ayan (personal) orang yang bergabung di barisan anshar thaghut Quraisy padahal mengaku muslim dan mengaku dipaksa, namun kamu bersikap wara’ dari mengkafirkan ta’yin (personal) tentara dan polisi thaghut itu, maka wara’ macam apa itu…?!!
Para shabat pada zaman Abu Bakar Ash Shidiq radliyallahu ‘anhum telah ijma (sepakat) terhadap kekafiran anshar thaghut Musailamah Al Kadzdzab dan nabi palsu lainnya secara ta’yin, dimana saat utusan Buzakha’ meminta damai dan taubat datang kepada Abu Bakar radliyallahu ‘anhu, maka beliau mengutarakan beberapa syarat yang disepakati para sahabat di antaranya bahwa mantan orang-orang murtad itu harus bersaksi bahwa orang-orang yang mati terbunuh dari mereka adalah masuk neraka. Sedangkan orang-orang yang terbunuh itu adalah orang-orang yang mu’ayanin (tertentu) dan sedangkan yang boleh dipastikan masuk neraka dalam aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah hanyalah orang-orang yang mati dalam kondisi kafir, dan orang muslim walaupun ahli maksiat tidak boleh dipastikan masuk neraka. Ini artinya para sahabat ijma atas kekafiran anshar thaghut secara ta’yin. (Ijma ini bisa dilihat di dalam Risalah Mufidul Mustafid dan Syarah Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin ke-6, milik Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab dan Al Jami’ bahasan Anshar Thaghut milik Syaik Abdul Qadir ibnu Abdil Aziz).
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata perihal orang-orang yang dikafirkan dengan sebab syirik akbar: “…dan begitu juga (kami kafirkan) orang yang berdiri dengan pedangnya melindungi kuburan-kuburan yang dikeramatkan ini semuanya dan dia memerangi orang yang mengingkarinya dan berupaya untuk melenyapkannya”.Sedangkan tentara, polisi dan satgas syirik lainnya adalah penjaga dan pengawal Pancasila syirik, demokrasi kafir dan UU thaghut, dimana lisan mereka selalu bergema melantunkan dengan lantang Garuda Pancasila, Akulah Pendukungmu, Patriot Proklamasi, Rela Berkorban Untukmu.
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah tentang anshar Musailamah Al Kadzdzab yang tertipu oleh para saksi palsu dan para du’at penipu yang mengabsahkan klaim Musailamah: “…namun begitu para ulama ijama bahwa mereka itu murtad walaupun mereka jahil akan hal itu, dan barang siapa ragu perihal kemurtadan mereka maka dia kafir.” (Syarah Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin ke-6, Majmuah At Tauhid), bahkan diantara yang menjadi saksi keabsahan Musailamah adalah Ibnu Unfuah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamkepada Banu Hanifah (kaum Musailamah) yang malah membelot kepada Musailamah dan menyesatkan mereka, begitu juga banyak orang yang tertipu menjadi anshar thaghut (tentara, polisi, intelejen, kepala lapas dan anak buahnya dan lain-lain) oleh ulama suu’ dan du’at penyeru di atas pintu-pintu jahanam yang mengabsahkan pemerintahan kafir murtad ini, sistemnya, falsafahnya dan hukumnya (pemerintahan RI), di antara mereka ada yang duduk menjadi thaghut di parlemen, ada yang menjadi menteri agama Pancasila, ada yang menjadi du’at departemen agama thaghut, ada sebagai Bintal (pembintaan mental) di militer dan posisi-posisi lainnya yang menipu umat.
Di dalam kaidah fiqiyyah ditegaskan bahwa status personel thaifah mumtani’ah (kelompok yang mengokohkan diri atau melindungi diri dengan kekuatan yang dimilikinya) adalah tergantung pemimpinnya. Bila thaifah itu adalah bughat (pemberontak muslim) maka personelnya adalah baghiy (pemberontak muslim), bila Khawarij maka personelnya Khariji, bila thaifah itu adalah pemerintah murtad maka personel ansharnya adalah orang kafir murtad (bila mengaku muslim).

D. PEKERJAAN YANG BERSIFAT MENYETUJUI DAN MENGIKUTI SISTEM THAGHUT
Seperti pekerjaan-pekerjaan yang ada di dinas kejaksaan, kehakiman, KPU, Sekretariat MPR/DPR/DPRD dan yang serupa dengan itu yang intinya menyetujui dan mengikuti sistem atau hukum kafir. Umpamanya seorang petugas kejaksaan (bukan Jaksa) saat memborgol dan mengkrangkeng atau menjemput tahanan adalah dalam rangka mengikuti hukum thaghut, seorang petugas Sijn (sipir penjara/LP) bertugas menjaga narapidana agar tidak kabur dalam rangka mengikuti hukum thaghut dan seterusnya.
Pekerjaan-pekerjaan ini sama dengan pekerjaan-pekerjaan sebelunya adalah kekafiran, baik ada sumpah maupun tidak ada karena menyetujui atau mengikuti hukum kafir tanpa ikrah (dipaksa) adalah tawaliy/muwallah kubra (loyalitas yang mengeluarkan dari Islam)

إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ٢٥ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ ٢٦ فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ ٢٧ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ ٢٨

”Sesunguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat maut mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridlaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka”. (Muhammad: 25-28)
Di dalam ayat-ayat ini Allah ta’ala memvonis murtad orang yang berjanji kepada orang-orang kafir bahwa dia akan mematuhi atau mengikuti mereka dalam satu urusan kekafiran, maka bagaimana halnya dengan orang yang benar-benar mematuhi atau mengikuti dalam urusan kekafiran itu?, dan bagaimana halnya dengan orang yang tugasnya adalah menjalankan aturan kafir dan bila dia diprotes maka dia menjawab “ saya hanya menjalankan tugas atau perintah” atau “ saya hanya menjalankan atau mengikuti hukum yang berlaku” ?. Jelas mereka mengikuti apa yang menimbulkan murka Allah ta’ala dan dengan tindakannya itu mereka membenci apa yang mendatangkan ridla-Nya.
Allah ta’ala befirman :

وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (Al Baqarah : 120)
Dan firman-Nya ta’ala :

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم مِّن بَعْدِ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذَاً لَّمِنَ الظَّالِمِينَ

“Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu sesungguhnya kalau begitu kamu termasuk orang-orang yang zalim”. (Al Baqarah: 145)
            Ayat itu menjelaskan bahwa seandainya orang muslim mengikuti ajaran kafir tanpa dipaksa maka dia itu kafir walaupun di hati tidak menyukainya atau dia membencinya atau hatinya masih beriman, karena keyakinan hati ini tidak dianggap saat lisan mengucapkan kekafiran atau anggota badan mengerjakan kekafiran kecuali saat kondisi ikrah (dipaksa) saja, sebagaimana firman-Nya ta’ala:

مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَـكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْراً فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ١٠٦ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ ١٠٧

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa padahal hatinya tetap tenang dengan keimanan, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka Allah menimpa mereka azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kaum yang kafir”. (An Nahl: 106-107)
Ayat ini menunjukan bahwa kekafiran itu tidak dimaafkan kecuali dengan sebab ikrah saja, dan ayat ini menunjukan juga bahwa orang yang mengucapkan atau mengerjakan kekafiran tanpa ikrah adalah telah melapangkan dadanya untuk kekafiran walaupun dia mengklaim sebaliknya atau mengklaim mencintai Islam tetap saja dia divonis kafir dan Allah ta’ala nyatakan bahwa kekafiran itu terjadi bukan karena ingin kafir atau benci kepada Islam, namun “…karena mereka sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat”, yaitu gaji, tunjangan, fasilitas kehidupan dan jaminan pensiun di masa tua.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan secara umum barangsiapa mengucapkan atau mengerjakan sesuatu yang merupakan kekafiran maka dia kafir dengan sebab itu meskipun dia tidak bermaksud untuk kafir, karena tidak bermaksud untuk kafir seorangpun kecuali apa yang Allah kehendaki”. (Ash Sharimul Maslul).
Syaikh Sulaiman ibnu Abdilllah Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata “Ulama ijma bahwa siapa yang mengucapkan atau mengerjakan kekafiran maka dia kafir, baik dia itu serius atau bercanda atau main-main, kecuali orang yang dipaksa”. (Ad Dalail: 1).
Bahkan Allah ta’ala berfirman perihal orang-orang yang mengucapkan kekafiran terus beralasan bahwa mereka hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja

لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“…tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian kafir setelah beriman” (At Taubah: 66)
E. PEKERJAAN YANG DISYARATKAN TERLEBIH DAHULU UNTUK BERSUMPAH ATAU BERJANJI SETIA KEPADA THAGHUT/SISTEM DAN HUKUMNYA
Setiap pekerjaan di dalam dinas pemerintahan thaghut ini walaupun asal pekerjaannya mubah atau haram yang tidak sampai kepada kekafiran, namun sebelum diangkat menjadi pegawai/pekerja disyaratkan mengikrarkan sumpah/janji setia kepada thaghut, maka ini adalah kekafiran karena sebab sumpah/janjinya itu bukan karena dzat pekerjaannya. Umpanya menjadi mantri atau dokter di puskesmas atau rumah sakit adalah mubah, namun bila dia sumpah setia kepada thaghut sebelumnya maka dia kafir karena sumpahnya. Menjadi PNS di Bea Cukai atau Perpajakan atau Imigrasi adalah pekerjaan haram karena semuanya kezaliman, namun tidak sampai kepada kekafiran akan tetapi bila sebelumnya ada sumpah atau janji setia kepada thaghut maka menjadi kafir dengan sebab sumpahnya itu.

إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ٢٥ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ ٢٦ فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ ٢٧ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ ٢٨

”Sesunguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat maut mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridlaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka”. (Muhammad: 25-28)
Di sisi Allah taa’ala memvonis murtad orang yang berjanji kepada orang-orang kafir untuk mematuhi sebagian urusan kekafiran mereka, maka apa gerangan dengan orang yang berjanji untuk setia kepada falsafah kafir, hukum kafir dan negara kafir dan untuk mematuhi segala aturan thaghut…???, dan apa gerangan dengan orang yang mengatakan janjinya dan sumpahnya itu dengan nama Allah…???, sedangkan sesuai dengan aturan main/UU thaghut bahwa orang yang resmi menjadi PNS harus mengikrarkan sumpah PNS seraya disaksikan seorang rohaniawan dan pejabat dilingkungan dinasnya, dan isi sumpahnya adalah sumpah dengan nama Allah untuk setia kepada Pancasila, UUD 45 dan Negara Kafir Republik Indonesia (NKRI) dan untuk mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk menjaga rahasia negara dan mendahulukan kepentingan negara terhadap kepentingan golongan (yaitu agama Islam diantaranya). Hakikat sumpah itu adalah: “DEMI ALLAH SAYA AKAN KAFIR KEPADA ALLAH DAN BERIMAN KEPADA THAGHUT…!!!” padahal Allah ta’ala:

أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

“… beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu…” (An Nahl: 36)
Dan Allah ta’ala berfirman :

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا

 “…barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kokoh yang tidak akan putus” (Al BAqarah: 256).
Bila orang itu mengklaim bahwa dia ucapkan itu seraya berdusta dan dihatinya tidak ada niat untuk setia dan patuh, maka kami katakan bahwa kamu tetap kafir…! walau hanya bohongan saat mengikrarkan sumpah itu, karena Allah telah mencap kafir orang yang berjanji bohong untuk melakukan kekafiran (yaitu membantu orang-orang Yahudi dalam melawan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana firman-Nya ta’ala:

أَلَمْ تَر إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَداً أَبَداً وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ”Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian dan kami selama lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk menyulitkan kamu, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (Al Hasyr: 11).
Alasan yang diterima Islam hanya ikrah (paksaan), sedangkan kalian tidak dipaksa dan malah justru bersaing untuk menjadi pegawai dan bahkan dengan menyogok agar lulus, tapi

ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“… yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah ta’alatidak member petunjuk kepada kaum yang kafir”. (An Nahl: 107)
Ini adalah bentuk-bentuk pekerjaan yang kufur akbar di dinas pemerintahan thaghut ini, dan untuk poin A, B, C dan D pekerjaan-pekerjaan di sana adalah kekafiran akbar dengan sendirinya yaitu dzat pekerjaannya adalah kufur akbar dan syirik akbar sehingga individu orangnya bisa kita kafirkan karena terbukti kekafirannya di hadapan kita. Adapun yang poin E yaitu yang dikafirkan dengan sebab sumpah/janji setia bukan karena dzat dinas atau pekerjaannya maka kita tidak bisa mengkafirkan individu orangnya kecuali kalau kita mengetahui lansung bahwa dia bersumpah, atau orang itu mengakui bahwa dia bersumpah, atau ada dua saksi laki-laki adil yang bersaksi dihadapan kita bahwa keduanya melihat atau mendengar dia bersumpah atau ada khabar yang istifadlah (masyhur diketahui khalayak umum) bahwa dia bersumpah.
Kalau ada salah satu dari hal-hal itu maka boleh mengkafirkan individu (ta’yin) orang itu, namun bila tidak ada maka tidak boleh mengkafirkannya walaupun sebenarnya dia itu bersumpah (kafir), di mana dihadapan Allah ta’ala dia itu kafir sedangkan dihadapan kita dia itu dihukumi muslim karena menampakkan keislaman. Dan bisa saja si A mengetahui dia itu kafir karena melihatnya bersumpah sehingga memperlakukannya sebagaimana orang kafir, namun si B tidak mengetahuinya sehingga menganggapnya muslim, dan itu tidak ada masalah dan si A tidak boleh memaksa si B untuk mengikuti vonis dia, tapi si B boleh mengikuti si A bila dia adil sebagaimana Umar radliyallahu‘anhu mengikuti Hudzaifah radliyallahu ‘anhu dalam sikap tidak menshalatkan jenazah orang munafik yang hanya diketahui Hudzaifah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
<2>.  Pekerjaan yang haram yang tidak sampai kepada kekafiran.
Yaitu setiap pekerjaan yang tidak mengandung salah satu usur kekafiran di atas akan tetapi bergerak di dalam bidang yang haram, seperti riba, kezaliman, membantu dalam kezaliman, memakan harta manusia dengan batil, atau muwallah shugra (segala yang menghantarkan kepada penghormatan dan kemuliaan orang kafir dengan tetap membenci, memusuhi, dan mengkafirkannya), atau hal haram lainnya.
<3>.  Pekerjaan yang makruh
Yaitu yang tidak ada unsur kekafiran dan keharaman, dengan syarat darurat atau sangat membutuhkan dan tetap menampakkan keyakinan (dien). Dikatakan makruh karena yang dituntut dari orang muslim adalah menjauhi orang kafir. Dan adapun syarat menampakan dien maka dia diambil dari kontek hadits atau atsar yang menunjukkan bahwa sebagian shahabat bekerja pada orang-orang musyrik seraya tetap menampakkan dien yang dianut, di mana Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Khabab ibnu Al Art radliayallahu ‘anhu berkata: “Saya mendatangi Al ‘Ash ibnu Wail As Sahmi untuk menagih hak saya yang ada padanya, maka dia berkata: “Saya tidak akan memberikannya kepadamu sampai kamu kafir kepada Muhammad.”, maka saya berkata: “Tidak, sampai kamu mati terus dibangkitkan pun.”
Bila tidak menampakkan diennya saat dia bekerja di dinas milik thaghut maka dia berdosa karena meninggalkan kewajiban demi dunia.
Orang yang kekafirannya hanya karena sebab sumpah setia kepada thaghut namun dzat pekerjaannya bukan kekafiran seperti bentuk pekerjaan model E, maka dia menjadi muslim dengan berlepas diri dari sumpahnya itu dan ikrar dua kalimah syahadat lagi, walaupun dia tidak keluar dari pekerjaannya, namun yang utama adalah dia keluar dari pekerjaannya itu. Sedangkan orang yang dzat pekerjaannya adalah kekafiran seperti bentuk-bentuk pekerjaan model A, B, C, D, maka dia tidak menjadi muslim kecuali dengan keluar dari pekerjaannya dan ikrar dua kalimah syahadat lagi.
Wallahu Ta’ala A’lam.

Seri-16 (Keterjagaan Darah & Harta)


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

A. Hukum Darah Orang Muslim
Hukum asal bagi darah orang muslim adalah haram ditumpahkan tanpa hak. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan ‘adzab yang besar baginya.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 93)

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudara kalian dalam agama ini. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui”. (QS. At-Taubah [9]: 11)
Sedangkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap muslim atas muslim itu haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (HR. Muslim)
Beliau juga berkata di Mina saat haji Wada: “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah haram” (Muttafaq‘alaih)
Dalam hadits Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu, beliau pun bersabda: “Tidak halal darah orang muslim yang bersaksi Laa ilaaha illallaah dan bahwa aku Rasulullah, kecuali dengan sebab salah satu dari tiga hal: Tsayyib (orang yang sudah pernah menikah) yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash) dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) lagi memisahkan diri dari jama’ah”. (Muttafaq‘alaih)
Dalam hadits Abu Malik Al Asyja’iy radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah terhadap Allah Ta’ala” (HR. Muslim)
Dan sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits Shakhr Ibnu Al ‘Ailah radliyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya (suatu) kaum bila telah masuk Islam, maka mereka itu telah melindungi darah dan harta mereka” (HR. Abu Dawud dan para perawinya tsiqat)
B. Hukum Darah Orang Kafir
Hukum asal bagi darah orang kafir adalah halal ditumpahkan, namun darah mereka menjadi haram dengan salah satu dari dua ‘ishmah (keterjagaan), yaitu ‘Ishmatul Iman dan ‘Ishmatul Aman.
1. ‘Ishmatul Iman
Yaitu keterjagaan dengan sebab dia beriman atau masuk Islam. Berdasarkan dalil-dalil di atas dan juga dalil-dalil berikut ini:
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala:

فَإِذَا انْسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah [9]: 5)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk membunuh orang kafir harbiy sampai mereka masuk Islam.
Sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam di dalam hadits Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilaah (yang haq) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat kemudian bila mereka telah melakukan hal itu, maka mereka melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka adalah atas Allah Ta’ala”. (Muttafaq‘alaih)  
Hadits ini juga sama dengan ayat sebelumnya.
Yang dimaksud keislaman yang melindungi darah dan harta adalah keislaman dlahir, bukan harus keislaman bathin (hakiki) yang janji surga dikaitkan terhadapnya. Oleh sebab itu orang munafiq terjaga darah dan hartanya karena dia menampakkan keislaman dan tidak menampakkan kekafiran di hadapan orang Islam, oleh karenanya dia dihukumi muslim padahal secara bathin dia itu kafir calon penghuni dasar neraka.
2. ‘Ishmatul Aman 
Yaitu keterjagaan darah orang kafir karena adanya jaminan keamanan, baik sementara waktu maupun selamanya. Bentuk ‘ishmatul aman :
a. Aman Ar Rasul
Yaitu jaminan keamanan yang diberikan kepada utusan. Jaminan ini telah ada sebelum Islam dan Islam mengakuinya serta mengokohkannya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada utusan Musailamah Al Kadzdzab: “Seandainya kamu bukan utusan, tentu saya telah membunuhmu” (HR. Abu Dawud, shahih)
Hak orang murtad adalah dibunuh, tetapi karena dia berstatus sebagai utusan, maka statusnya ini menjadi penjamin keamanan bagi dia. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sesungguhnya saya ini tidak pernah melanggar perjanjian dan tidak menahan utusan”. (HR. Abu Dawud dan Ibu Hibban menshahihkannya; diriwayatkan pula oleh An Nasa’i)
Jadi utusan wajib dikembalikan, tidak boleh ditahan atau diganggu.
b. Aman Adz Dzimmah
Yaitu jaminan keamanan yang disebabkan oleh akad dzimmah, yaitu akad yang diberikan oleh imam atau wakil-wakilnya kepada orang kafir atau yang rela hidup di bawah Daulatul Islam dengan syarat-syarat tertentu, dan akad ini bisa berlangsung selamanya, kecuali:
- Bila turun Isa Ibnu Maryam, karena saat itu tidak diterima, kecuali Islam atau dibunuh
- Di jazirah Arab, karena tidak boleh ada agama lain di sana kecuali Islam.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa membunuh jiwa mu’ahad (orang kafir yang diikat perjanjian) yang memiliki jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya, maka ia tidak akan mendapat wangi surga, dan sesungguhnya wanginya  didapatkan dari (jarak,ed.) perjalanan empat puluh tahun” (HR. Al Bukhari)
Oleh sebab itu ada diyat dalam membunuh orang kafir dzimmiy, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diyat ahli adz dzimmah adalah setengah diyat kaum muslimin” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i, At Tirmidziy dan Ibnu Majah)
Seandainya halal dibunuh tentu tidak ada ancaman terhadap pembunuhnya dan tidak ada diyat karena pembunuhannya. Banyak sekali nash hadits ancaman terhadap orang yang membunuh atau menyakiti kafir dzimmiy.
c. Aman Al Hudnah
Yaitu jaminan keamanan bagi orang kafir harbiy yang mengikat perjanjian sementara dengan kaum muslimin. Perjanjian ini hanya dilakukan oleh imam kaum muslimin dengan (pertimbangan,ed) demi mashlahat kaum muslimin. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan kafir Quraisy di Al Hudaibiyyah, di antara butir perjanjian itu adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun dan untuk tidak saling mengganggu. (HR. Abu Dawud)
Oleh sebab itu banyak nash ancaman terhadap pembunuhannya, karena itu adalah pelanggaran terhadap perjanjian yang Allah ta’ala wajibkan penunaiannya dan Allah tetapkan juga diyat atas pembunuhannya.
Perlu diketahui bahwa perjanjian ini hanya mengikat terhadap orang-orang yang berada dalam wilayah kekuasaan imam yang mengikat akad perkanjian itu, tidak bagi orang-orang yang di luar kekuasaannya, dengan dalil bahwa saat kelompok Abu Bashir melakukan perampasan dan pembunuhan orang-orang kafir Quraisy yang melewati wilayah mereka, Rasulullah tidak melarangnya dan tidak pula mengingkarinya dan kaum kafir Quraisy pun tidak menuntut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam karena sebab perbuatan mereka.
d. Aman Al Jiwar
Yaitu jaminan keamanan yang diberikan kepada orang kafir yang masuk ke Darul Islam untuk kebutuhan belajar, usaha, berobat, atau yang lainnya. Jaminan ini bisa diberikan oleh setiap individu muslim mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan. Dia haram dibunuh sampai kembali ke tempat dia masuk. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At Taubah [9]: 6)
Saat Ummu Hani radliyallahu ‘anha memberikan jaminan keamanan kepada orang musyrik, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kami telah menjamin orang yang engkau jamin.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Begitu juga dalam hadits Ali radliyallahu ‘anhu: “Dan tidak boleh dibunuh dzu ‘ahdin pada masa jaminannya” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An Nasa’i serta di sahkan oleh Al Hakim).
Dzul ‘Ahdi adalah laki-laki dari penduduk Darul Harbiy yang masuk ke tengah kita dengan jaminan keamanan, maka sesungguhnya membunuh dia itu haram atas orang muslim sampai dia kembali ke tempat amannya. (Subulus Salam, Ash Shan’aniy, kitab Jinayat hadits no.6)
e. Keterjagaan darah orang kafir dengan sebab orang muslim masuk ke negeri mereka dengan jaminan mereka
Maka tidak boleh bagi orang muslim yang bersangkutan untuk membunuh mereka atau merampas harta mereka, karena jaminan mereka itu merupakan akad untuk tidak saling mengganggu, sedangkan Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah ‘aqad-‘aqad itu” [1] (QS. Al Maaidah [5]:1)
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya saya tidak melanggar perjanjian” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Sebagaimana orang kafir harbiy masuk ke Darul Islam dengan jaminan, maka itu merupakan akad untuk tidak mengganggu dan tidak diganggu, begitu juga orang muslim yang masuk ke Darul Harbiy dengan jaminan mereka, maka itu merupakan akad untuk tidak mengganggu dan tidak diganggu.
Seperti halnya orang muslim yang masuk ke Darul Harbiy dengan memakai visa asli maupun palsu. Dikarenakan mereka (orang kafir) meyakini bahwa yang palsu itu asli, sehingga mereka mengizinkannya masuk dan memberikan semua apa yang diberikan kepada pemilik visa asli. Andai saja mereka mengetahui bahwa itu palsu, tentu mereka tidak akan mengizinkannya masuk.
Berbeda halnya dengan orang muslim yang masuk ke sana secara illegal atau masa jaminannya sudah habis sehingga ia dikejar-kejar atau orang muslim yang masuk dan (kemudian,ed.) menjadi warga negara itu atau dia asli warga negara itu.
Untuk lebih jelasnya silahkan rujuk Risalah Abu Bashir Abdul Mun’im Mushthafa Halimah tentang Hukmu Istihlal Amwal Al Musyrikin. Wallahu A’lam.[2]

Alhamdulillahirrabbil ‘Aalamiin

[1] ’Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
[2] Selesai diedit di penghujung 2007.

Seri-15 (Konsekuensi Bagi Orang Murtad)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘Alamiin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya.
‘Amma ba’du :
Ikhwani fillah… materi kali ini adalah berkenaan dengan konsekuensi-konsekuensi terhadap orang yang sudah murtad atau keluar dari Islam (baik karena melakukan syirik akbar, kufur akbar ataupun berikrar untuk pindah agama, ed.) berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Banyak sekali konsekuensi-konsekuensi yang diberlakukan terhadap orang yang sudah murtad atau sudah kafir atau sudah keluar dari Islam. Ada konsekuensi-konsekuensi yang sifatnya duniawi dan ada konsekuensi-konsekuensi yang bersifat ukhrawi (akhirat).
I. Konsekuensi-konsekuensi yang diberlakukan di dunia ini, di antaranya:
1. Gugur hak perwalian atau penguasaannya terhadap kaum muslimin
a. Orang murtad tidak memilki wilayah (saitharah),
Tidak boleh diberikan kesempatan untuk menguasai orang muslim, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

“Dan Allah tidak akan menjadikan bagi orang kafir jalan untuk menguasai kaum muslimin”. (QS. An Nisaa’ [4]: 141)
Ayat ini sifatnya penafian, akan tetapi ini bermakna larangan bagi orang muslim untuk memberikan peluang atau kesempatan bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslimin. Kaum muslimin tidak boleh memberikan kesempatan atau peluang bagi orang murtad atau bagi orang kafir untuk menguasai diri mereka, maka dari itu orang kafir atau orang murtad tidak boleh menjadi pemimpin bagi kaum muslimin.
Begitu juga apabila si orang kafir atau murtad ini asalnya muslim dan menjadi pemimpin (amir) bagi kaum muslimin, lalu dalam perjalanannya dia murtad dari Islam, maka wajib atas kaum muslimin untuk melengserkannya, karena dengan sebab kemurtaddannya maka kepemimpinannya itu lepas dengan sendirinya. Jika dia tidak mau menanggalkan kepemimpinannya atau tidak mau turun dari jabatannya sebagai pemimpin atau amir maka wajib atas kaum muslimin untuk mencopot jabatannya. Karena seorang imam atau amir atau pemimpin atau presiden itu diangkat untuk ditaati sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (pemimpin) di antara kalian” (QS. An Nisaa’ [4]: 59)
Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan untuk mentaati pemimpinnya, juga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Aku memerintahkan kalian dengan lima hal sebagaimana Allah memerintahkan saya dengannya: berjama’ah, mendengar dan taat… ” (HR. Ahmad dan At Tirmidziy, shahih)
Jadi keberadaan pemimpin adalah untuk ditaati, akan tetapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengancam kepada orang-orang yang mentaati orang kafir :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman jika kalian mentaati orang-orang kafir tentu mereka mengembalikan kalian ke belakang (murtad)” (QS. Ali Imran [3]: 149)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengancam atau menghati-hatikan kepada orang muslim dari mentaati orang kafir; bahwa jika kalian mentaati orang-orang kafir, maka orang kafir ini akan mengembalikan kalian ke dalam kekafiran atau ke dalam kemurtaddan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang untuk mentaati orang kafir, maka berarti kepemimpinan orang murtad atau orang kafir atas kaum muslimin itu dilarang. Orang murtad tidak boleh diangkat untuk menjadi pemimpin atau amir atau presiden atau hal-hal yang seperti  itu, dia tidak boleh dibiarkan menjadi pemimpin ketika dia sudah murtad dari Islam.
Oleh sebab itu orang muslim tidak boleh ikut serta mengangkat orang kafir sebagai pemimpin, seperti ikut berpartisipasi dalam Pilpres, Pilkada dll, karena hal ini adalah sebuah bentuk pengangkatan orang kafir untuk menjadi pemimpin, mengangkat orang yang akan menerapkan atau memberlakukan hukum thaghut terhadap manusia.
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menghati-hatikan dalam firman-Nya:

فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا

“Maka janganlah kamu mentaati orang-orang kafir, dan jihadilah mereka itu dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar”. (QS. Al Furqan [25]: 52)
Jadi, dikarenakan tidak boleh ditaati, berarti tidak boleh diangkat untuk menjadi pemimpin, dan ketika dia sudah menjabat sebagai pemimpin kaum muslimin kemudian dia murtad, maka kepemimpinannya lepas dengan sendirinya, dan bila dia tidak mau turun, maka wajib diturunkan oleh kaum muslimin, bila dia melindungi diri dengan kekuatannya maka wajib atas kaum muslimin untuk memerangi kelompok yang melindunginya dengan segenap kemampuan.
b.   Gugur hak perwalian dalam masalah pernikahan.
Bila ada seorang muslimah memiliki ayah, kemudian ayahnya ini murtad karena melakukan kemusyrikan atau hal-hal apa saja yang membatalkan keislaman, misalnya menjadi Anggota Dewan di DPR/MPR atau dia menjadi anshar thaghut (tentara/polisi), ketika muslimah tersebut mau menikah, maka si ayah ini –dalam Islam– tidak memiliki perwalian dalam nikahnya karena dia sudah murtad dari Islam. Keberhakkan dalam perwaliannya sudah gugur, dan karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang bagi orang muslim untuk memberikan kekuasaan kepada orang kafir.
c.    Gugur hak pengasuhannya (pengurusan terhadap anak)
Bila salah seorang dari orang tua, baik ayah atau ibu murtad dari Islam, maka tidak diberikan hak dalam pengasuhan anaknya. Ini dikarenakan kepengurusan anak memberikan jalan bagi dia untuk menguasai anaknya yang masih muslim ini. Sedangkan  setiap orang yang mengurusi anak, maka dia akan berupaya untuk mendidik anak tersebut di atas keyakinan yang dia anut.
2.    Tidak boleh shalat (bermakmum) di belakangnya
Kita tidak boleh shalat di belakang orang kafir atau orang murtad, umpamanya shalat dibelakang anggota MPR/DPR atau polisi atau tentara atau anshar thaghut yang lainnya yang mana dia menjadi imam shalat, karena orang kafir atau orang murtad segala amal-amalnya tidak sah karena syarat sah seluruh ibadah adalah Al Islam atau orangnya bertauhid, sedangkan orang murtad walaupun dia mengaku Islam atau melakukan amalan-amalan shalih, tapi kalau dia murtad dari Islam maka amal-amal yang dilakukannya; baik itu shalat, zakat, shaum atau yang lainnya adalah tidak sah.
Bagi orang yang mengetahui bahwa imamnya itu orang kaifr maka tidak boleh shalat di belakang dia, karena dia sudah mengetahui bahwa shalatnya si imam tersebut tidak sah, ini berbeda dengan orang yang tidak mengetahui bahwa imamnya ini orang kafir, baik tidak mengetahuinya karena tidak melihat hal-hal yang membatalkan keislaman dari imam tersebut (Masturul Hal) walaupun hakikat sebenarnya si imam itu orang kafir, akan tetapi karena si imam itu tetap menampakkan keislaman, maka orang yang shalat di belakangnya adalah sah. Kita tidak diwajibkan untuk mengorek-ngorek keyakinan si imam, misalnya si imam tersebut adalah sebenarnya anggota DPR/MPR atau aktifis sebuah partai, namun kita tidak mengetahui bahwa si imam itu anggota DPR/MPR atau aktifis sebuah partai maka shalat kita bermakmum kepadanya tetap sah, sedang kekafiran dia yang sebenarnya dihisab di sisi Allah, karena kita tidak diwajibkan untuk menanya-nanyai apa dan bagaimana tentang si imam tersebut.
Berbeda dengan orang yang sudah mengetahui bahwa imamnya itu adalah orang kafir, maka tidak boleh shalat di belakang imam yang seperti itu.
3. Tidak boleh menikahinya dan tidak boleh menikahkan seorang muslim dengannya.
Orang muslim tidak dibolehkan menikah atau menikahkan dengan orang yang sudah murtad atau keluar dari Islam dengan bentuk kemurtaddan apa saja, baik itu murtad karena mendukung syirik hukum atau pun melakukan syirik tumbal dan sesajian atau yang lainnya. Seorang ayah dilarang menikahkan puterinya yang muslimah atau laki-laki menikahkan saudarinya kepada laki-laki yang murtad atau yang kafir, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan:

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya”. (QS. Al Baqarah [2]: 221)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang wali menikahkan wanita yang dalam perwaliannya kepada orang-orang kafir atau musyrik atau orang murtad. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga mengatakan :

وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ

“Dan janganlah kalian memegang ikatan (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir” (QS. Al Mumtahanah [60]: 10)
Bila asal keduanya atau pada awal penikahannya adalah muslim, lalu kemudian di tengah perjalanan si perempuannya murtad atau si laki-lakinya murtad, maka pernikahan tersebut lepas dengan sendirinya. Apabila dalam masa ‘iddah si perempuan kembali kepada Islam, maka si laki-laki boleh kembali kepadanya tanpa perlu akad nikah kembali. Begitu juga apabila yang murtadnya itu si laki-laki, jika masih dalam masa ‘iddah lalu si laki-laki tersebut kembali kepada Islam maka si perempuan boleh menerima kembali si laki-laki tanpa akad yang baru. Jika setelah beberapa waktu masa iddah berlalu dan salah satunya baru kembali kepada Islam, maka di sini ada dua pendapat para ulama, ada yang mengharuskan kembali akad dengan mahar yang baru dengan wali dan saksi, dan ada yang berpendapat tidak perlu dilakukan akad nikah kembali, dan yang rajih (kuat) –wallahu a’lam– adalah pendapat yang mengatakan tidak perlu akad kembali –jika si wanita tidak menikah dengan laki-laki yang lain sehabis masa ‘iddahnya–, ini berdasarkan apa yang terjadi saat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengembalikan puterinya Zainab kepada Abul ‘Ash Ibnu Ar Rabi’ setelah enam tahun. Dia (‘Abul ‘Ash) masuk Islamnya enam tahun setelah masa ‘iddah Zainab berakhir sebagaimana atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu: “Adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengembalikan puterinya Zainab kepada Abul ‘Ash Ibnu Ar Rabi’ dengan nikah yang terdahulu dan tidak mengadakan akad nikah lagi”. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majjah dan di shahihkan oleh Imam Ahmad dan Al Hakim)
Jika tadi di awal Allah melarang menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman, dan begitu juga si ayah atau saudara atau laki-laki yang memiliki perwalian kepada perempuan tidak boleh menikahkan perempuan tersebut kepada laki-laki musyrik.
4.  Haram sembelihannya
Orang murtad haram sembelihannya, sedang yang Allah halalkan sembelihannya hanyalah sembelihan orang muslim atau sembelihan orang yang terlahir dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), bukan orang yang asalnya muslim kemudian murtad dan masuk Nashrani atau Yahudi atau murtadnya karena melakukan pembatal-pembatal keislaman lainnya seperti orang yang melakukan tumbal atau sesajian atau mendukung demokrasi dan hukum-hukum buatan lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menjelaskan tentang orang yang membuat sembelihan untuk tumbal: ”Hewan ini haramnya dari dua sisi: Pertama, sembelihan orang murtad, dan kedua karena hewan itu sembelihan yang diperuntukan untuk selain Allah”.
Ada kaidah fiqh yang mengatakan bahwa hukum asal sembelihan itu adalah haram kecuali yang dibolehkan oleh syari’at, yaitu sembelihan orang muslim atau sembelihan ahli kitab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“Pada hari ini telah dihalalkan bagi kalian yang baik-baik, dan sembelihan ahli kitab halal bagi kalian dan sembelihan kalian halal bagi mereka” (QS. Al Maaidah [5]: 5)
5. Tidak boleh mengucapkan salam terhadap mereka
Ini karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan dalam hadits Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu: “Janganlah kalian mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani” dalam satu riwayat dikatakan: “Jika kalian menjumpai orang-orang, musyrik, maka jangan kalian mengucapkan salam terhadap mereka”.
Jadi, orang muslim tidak boleh mengucapkan salam kepada orang-orang kafir, apalagi dengan orang murtad !
Adapun jika mereka mengucapkan salam terhadap kita maka boleh dijawab dengan “Wa‘alaikum”. Dan sebagian ulama membolehkan menjawab dengan jelas jika mereka mengucapkannya dengan jelas pula, tapi yang disepekati adalah jawaban wa ‘alaikum.
6.    Tidak boleh memuliakannya atau mengagungkannya
Karena orang-orang murtad itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan oleh Allah, sedangkan orang yang sudah dihinakan oleh Allah, maka tidak boleh kita muliakan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ

“Dan barangsiapa yang telah dihinakan oleh Allah, maka tidak seorangpun yang memuliakannya”  (QS. Al Hajj [22]: 18)
Jadi, orang kafir sudah Allah hinakan, dan Allah menyiapkan bagi mereka ‘adzab yang menghinakan, maka tidak boleh orang muslim memuliakan orang kafir, memuliakan orang kafir adalah haram…
7.    Wajib bara’ (berlepas diri) dari mereka
Bara’ di sini adalah membenci dan memusuhinya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Telah ada pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya suri tauladan yang baik bagi kalian saat mereka mengatakan kepada kaumnya : “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Allah mendahulukan berlepas diri dari orangnya, karena pentingnya berlepas diri dari orang atau pelakunya, karena bisa jadi orang berlepas diri dari perbuatannya, tapi tidak berlepas diri dari orangnya.
Kita harus berlepas diri dari orang-orang murtad, dari orangnya dan dari perbuatannya. Ini adalah yang dinamakan bara’, memusuhi dan membenci kepada orang dan perbuatannya. Jadi kita harus berlepas diri dari mereka karena mereka adalah orang yang sudah Allah vonis kafir, makanya Allah meniadakan keimanan dari orang yang menjalin kasih sayang dengan orang-orang murtad atau orang kafir, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan menemukan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menjalin kasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan rasul-Nya walaupun mereka adalah ayah mereka, anak mereka, saudara mereka atau  kerabat mereka”   (QS. Al Mujaadilah [58]: 22)
Jadi Allah mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir  tidak mungkin menjalin kasih sayang dengan orang yang murtad atau dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.
Di sini ada perbedaan, ketika kita berlepas diri dari orang musyrik dengan sikap kita terhadap orang muslim yang melakukan maksiat; jika orang muslim yang melakukan maksiat maka kita berlepas diri hanya dari perbuatannya dan bukan dari orangnya. Dalam Al Qur’an Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ

“Bila mereka maksiat kepada kamu (Muhammad), maka katakanlah sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian lakukan” (QS. Asy Syu’araa [26]: 216)
Bila dengan orang kafir dikatakan: “Kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah”, sedangkan jika dengan muslim yang maksiat maka kita berlepas diri dari perbuatannya atau dari maksiatnya, dan bukan dari orangnya. Ketika Khalid Ibnul Walid melakukan kesalahan dalam peperangan, beliau membunuh orang yang tidak layak untuk dibunuh, maka Rasul mengatakan: “Ya Allah, saya berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Khalid” (Al-Bukhary no. 4339 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
8.    Tidak boleh saling mewarisi dengan orang muslim
Misalkan dalam sebuah keluarga muslim ada anaknya yang murtad, lalu ayahnya meninggal dunia, maka si anak yang murtad ini tidak berhak mendapatkan warisan dari si ayah tersebut, dan begitu juga sebaliknya. Jika orang murtad di Negara Islam maka di samping dibunuh orangnya, hartanya juga diambil untuk Baitul Mal, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim” (Muttafaq ‘alaih dari Usamah bin Zaid radliyallahu’anhu).
Akan tetapi dalam kondisi zaman ini (di saat tidak adanya Baitul Mal, ed), jika ada  seorang muslim sedangkan ayahnya murtad lalu si ayah tersebut meninggal dunia, maka apabila ada harta yang diberikan kepadanya, maka itu adalah bukan sebagai bentuk warisan, akan tetapi diterima saja karena dikhawatirkan  diambil oleh orang lain, dan atas kerelaan dia, maka harta yang jatuh ke tangannya bisa digunakan untuk kepentingan dirinya atau kepentingan kaum muslimin.
9.    Orang murtad tidak diakui hidupnya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah” (HR. Bukhariy).
Jika orang murtad secara individu di Negara Islam maka akan dipanggil dan dinasehati supaya taubat dan diberi tenggang waktu, jika dia bertaubat maka dilepaskan lagi dan jika tidak bertaubat, maka dibunuh.
Akan tetapi jika yang murtad itu sifatnya berkelompok dan memiliki kekuatan untuk melindungi diri dari hukum Islam meskipun di wilayah Negara Islam, maka ini tidak dinasehati atau disuruh taubat terlebih dahulu, akan tetapi langsung diperangi oleh Pemerintah. Ini sebagaimana yang terjadi di zaman Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu tatkala memerangi kelompok Musailamah Al Kadzdzab kaum Banu Hanifah di Yamamah, mereka murtad dan mengikuti pemimpinnya dan mereka juga mempunyai pasukan dan kekuatan, maka oleh Abu Bakar mereka langsung diperangi.
Begitu juga bagi orang murtad yang bersifat thaghutiyyah, karena mereka memiliki kekuatan (tentara dan senjata) maka ini juga langsung diperangi saat kaum muslimin memiliki kekuatan, dan karena Allah mewajibkan untuk memerangi mereka dengan sebab mereka (para thaghut) itu adalah musuh yang telah masuk dan bahkan telah mengakar di negeri-negeri kaum muslimin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas dari kamu” (QS. At Taubah [9]: 123)
Para thaghut hukum dan ansharnya adalah orang-orang kafir yang paling dekat dengan kita, maka itulah yang diperangi terlebih dahulu.
Ini adalah bila yang sifatnya kelompok, bukan dinasehati agar bertaubat, akan tetapi diperangi… Orang murtad kenapa dibunuh ? karena halal darah dan hartanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Tidak halal darahnya orang muslim yang bersaksi tiada tuhan yang berhak diibadati selain Allah dan aku adalah rasul Allah kecuali dengan salah satu dari tiga hal; zina muhshan, qishash, keluar dari Islam”. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Orang murtad dibunuh karena dia tidak kafir kepada thaghut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala yang diibadati selain Allah maka haram darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah” (HR. Muslim dari Abu Malik Al Asyja’iy). Makna dia kafir terhadap segala yang diibadati selain Allah adalah kafir terhadap thaghut, sedangkan orang murtad tidak kafir kepada thaghut, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ

“Maka bunuhilah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian dapatkan mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka, dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (QS. At Taubah [9]: 5)
“Jika mereka taubat” adalah taubat dari kemusyrikannya atau dari kethaghutannya, dan orang yang tidak mau taubat atau dia bersikukuh di dalam kemusyrikan dan kethaghutannya maka berarti dibunuh…
Demikianlah konsekuensi-konsekuensi yang dikenakan bagi orang murtad di dunia.
II. Konsekuensi-Konsekuensi di Akhirat :
1.    Dipastikan sebagai calon ahli neraka
Jika orang murtad mati di atas kemurtaddannya; umpamanya ada polisi atau tentara mati sewaktu dalam dinasnya, maka kita boleh memastikan bahwa dia calon penghuni neraka, karena orang kafir atau orang murtad sudah Allah pastikan masuk neraka.
Ketika Khalifah Abu Bakar memerangi kelompok murtad para pengikut Musilamah Al Kadzdzab, ketika mereka terdesak hingga akhirnya menyerah dan minta damai dengan mengirim utusan Buzakhakh, akan tetapi oleh Khalifah Abu Bakkar tidak diterima kecuali jika mereka mau menerima syarat-syarat yang di ajukan oleh Abu Bakar dan disepakati oleh para shahabat, dan di antara syarat-syarat itu adalah mereka harus mau bersaksi bahwa orang yang mati di antara mereka adalah masuk neraka.
Sedangkan dalam ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, apabila orang muslim yang bertauhid meninggal dunia dan jika semasa hidupnya dia adalah seorang yang taat, maka kita tidak boleh mengatakan bahwa “si fulan ini calon penghuni surga”, tapi boleh mengatakan “Mudah-mudahan dimasukkan ke surga”. Dan jika orang muslim itu semasa hidupnya sering melakukan maksiat, maka kita tidak boleh mengatakan “si fulan calon penghuni neraka”, tapi boleh mengatakan “dikhawatirkan dia di ‘adzab di akhirat”. Jadi kalau orang muslim yang baik dan taat tidak boleh dipastikan masuk surga kecuali jika ada dalil yang khusus, muslim yang fasiq juga tidak boleh dipastikan masuk neraka, akan tetapi jika orang kafir atau orang murtad, maka boleh dipastikan masuk neraka…
2.    Tidak boleh dimandikan dan tidak boleh dikafankan.
Orang murtad jika mati tidak boleh dimandikan dan tidak boleh dikafankan, seadanya saja dengan pakaian yang menempel sewaktu mati, karena orang murtad tidak ada harganya lagi sebab dia sudah menghinakan dirinya sendiri dengan kekafiran atau kemurtaddannya.
Ketika di perang Badar, Rasulullah shallallah’alaihi wa sallam tidak mengubur orang-orang musyrik yang mati dalam perang sebanyak 70 orang. Beliau langsung memasukkan mereka ke dalam sumur Badar. Tidak dimandikan dan dikafani terlebih dahulu, tapi langsung apa adanya dimasukkan ke dalam sumur.
3.    Tidak boleh dishalatkan
Bila ada anshar (kaki tangan) thaghut seperti polisi atau tentara mati sewaktu dinas, atau anggota MPR/DPR atau Hakim/Jaksa mati di atas kemusyrikan dan kethaghutannya, maka kita tidak boleh ikut menshalatkannya, ini adalah haram karena dia orang kafir, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا

Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan seorang yang mati di antara mereka selamanya” (QS. At Taubah [9]: 84)
Bukannya dapat pahala tapi justru mendapatkan dosa jika kita menshalatkannya. Begitu juga bagi orang yang suka membuat tumbal atau sesajian, bila dia belum taubat lalu mati di atas kemusyikannya maka dia tidak boleh dishalatkan.
4.    Tidak boleh dido’akan
Orang yang mati di atas kemurtaddannya atau kemusyrikannya atau kekafirannya haram dido’akan atau memintakan ampunan dari Allah baginya di akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tidak layak bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam”. (QS. At Taubah [9]: 113)
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam pernah meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan buat ibundanya yang meninggal dalam keadaan musyrik, tapi Allah melarang dan tidak memberikan izin. Dan ketika Abu Thalib yang terkenal suka membela Rasulullah itu meninggal, beliau shalallahu’alaihi wa sallam berkata: “Saya akan memintakan ampunan kepada Allah untuk engkau selama saya tidak dilarang”, maka turunlah ayat tadi di atas.
Dan yang lebih haram lagi adalah mengatakan kepada orang murtad “almarhum” atau “almarhumah” yang artinya orang yang dirahmati, jika saja kepada orang muslim yang baik kita tidak dibolehkan mengucapkannya, maka terlebih lagi terhadap orang murtad. Akan tetapi kita hanya dibolehkan mengucapkan rahimahullah (semoga Allah merahmati) kepada orang muslim yang baik.
5.    Tidak boleh dikubur di pekuburan kaum muslimin
Orang murtad jika dia mati, maka dia tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin, karena mereka sudah hina dan tidak berharga lagi.
6.    Haram masuk surga
Orang murtad tidak mungkin masuk surga bila dia mati di atas kekafirannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan:

إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri, tidak dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit, dan mereka tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lobang jarum, demikianlah Kami memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat kejahatan” (QS. Al A’raaf [7]: 40)

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

 “Sesungguhnya siapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh Allah telah mengharamkan surga atasnya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada seorang pun penolong bagi orang-orang yangzhalim...(QS. Al Maaidah [5]: 72)

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. (QS. Al Bayyinah [98]: 6)
7.    Mereka kekal di dalam neraka
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al Baqarah [2]: 217)
8.    Amal ibadahnya hapus
Segala amal ibadah yang pernah dilakukan oleh orang murtad seperti; zakat, shaum, haji, infaq, dan yang lainnya itu hapus sia-sia:

وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa yang kafir setelah dia beriman maka hapuslah amalannya, dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi”. (QS. Al Maaidah [5]: 5)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al Baqarah [2]: 217)
Dan bahkan para rasul diancam Allah bila mereka melakukan kemusyrikan:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka melakukan kemusyrikan tentu lenyaplah amalan yang mereka lakukan” (QS. Al An’am [6]: 88)
Ini adalah ancaman kepada para rasul, maka apa gerangan dengan kita…?! Dan bahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri Allah mengatakan:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Andaikata kamu (Muhammad) melakukan syirik maka lenyaplah amalan kamu” (QS. Az Zumar [39]: 65)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian itu disebabkan karena mereka membenci apa yang Allah turunkan, maka Allah hapuskan amalan mereka” (QS. Muhammad [47]: 9)
Jika orang membenci ajaran Allah, atau bahkan sedikit saja membenci ajaran Allah, maka itu adalah suatu bentuk kemurtaddan, keluar dari Islam dan hapus segala amalannya.
9.    Tidak mendapatkan syafa’at
Orang murtad tidak mungkin mendapatkan syafa’at di akhirat dari para nabi dan malaikat yang diizinkan Allah akan memberikan syafa’atnya, juga orang-orang shalih, orang-orang yang mati syahid dan anak kecil yang meninggal, semua akan memberikan syafa’at dengan izin Allah, akan tetapi ini tidak berlaku bagi orang yang mati di atas kekafiran.
Ini karena syafa’at itu memiliki syarat; Pertama, izin dari Allah terhadap orang yang akan memberikan syafa’at, dan kedua; Allah ridla terhadap orang yang akan diberikan syafa’at, sedangkan Allah tidak meridlai kekafiran, dan syarat ridla ini adalah sebagaimana yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan:

وَلا يَشْفَعُونَ إِلا لِمَنِ ارْتَضَى

“Dan mereka (malaikat) tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah” (QS. Al Anbiya [21]: 28)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak meridlai kekafiran sebagaimana firman-Nya:

وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

“Dan Dia tidak meridlai kekafiran bagi hamba-Nya” (QS. Az Zumar [39]: 7)
Allah tidak ridla dengan kekafiran, sedangkan syarat untuk mendapatkan syafa’at adalah Allah ridla kepada orang yang akan diberikan syafaat.
Dan di hari kiamat ketika orang-orang kafir sudah masuk ke dalam neraka, mereka berkata dengan penuh penyesalan:

فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِينَ

“tidak ada yang memberikan syafa’at bagi kami”  (QS. Asy Syu’araa [26]: 100)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ

“Tidak bermanfaat bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at”. (QS. Al Mudatstsir [74]: 48)
Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam berkata: “Setiap nabi mempunyai do’a yang mustajab dan setiap nabi sudah menyegerakan untuk memakainya di dunia ini, dan saya simpan do’a mustajab saya ini sebagai syafa’at bagi umat saya di hari kiamat. Itu pasti didapatkan Insya Allah oleh orang yang mati di antara umatku sedang dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun”. (HR. Muslim)
Satu-satunya orang kafir yang mendapatkan syafa’at hanyalah Abu Thalib, itupun bukan dalam bentuk dikeluarkan dari api neraka, tapi hanya diringankan ‘adzabnya saja, dari yang asalnya neraka yang paling dasar diganti dengan sandal dari api neraka yang mana bila dipakai, maka otak yang ada di kepalanya mendidih. Sedangkan orang yang paling ringan ‘adzabnya di akhirat mengira bahwa dirinya adalah orang yang paling berat ‘adzabnya.
Demikianlah di antara sekian banyak konsekuensi-konsekuensi yang diberlakukan kepada orang yang sudah divonis murtad. Semoga kita terhindar dari hal-hal yang menghantarkan kepada kemurtaddan, aamiin…
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para shahabat dan para pengikutnya sampai hari kiamat.[1]
Alhamdulillaahirrabbil Aalamiin

[1] Disadur dari Seri Taushiyyah Materi Tauhid