بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sesungguhnya bekerja di dinas milik pemerintahan thaghut adalah ada rincian sebagaimana berikut ini:
<1>. Setiap
pekerjaan yang merupakan pembuatan hukum, pemutusan dengan hukum
buatan, pembelaan kepada thaghut atau sistemnya, mengikuti atau
menyetujui sistem thaghut, ada syarat sumpah atau janji setia kepada
thaghut atau sistemnya, maka semua ini adalah KEKAFIRAN.
A. PEKERJAAN YANG MERUPAKAN PEMBUATAN HUKUM
Pembuatan hukum adalah hak khusus Rububiyyah Alllah Ta’ala karena Dia adalah yang menciptakan maka hanya Dia-lah dzat yang berhak menentukan hukum bagi ciptaan-Nya, Dia Ta’ala berfirman:
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah…” (Al A’raf: 54)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah…” (Al An’am: 57)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” (Yusuf: 40)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah” (Yusuf: 67)
Allah Ta’ala tidak menyertakan
satu makhluk pun di dalam hak khusus pembuatan hukum ini baik itu
malaikat ataupun para nabi, karena hanya Dia-lah dzat yang menciptakan:
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً
“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)
Dan di alam qira-ah Ibnu Amir yang mutawatir di baca:
وَلَا تُشْرِكْ فِي حُكْمِهِ أَحَداً
“Dan janganlah kamu mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ ٦٨ وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ ٦٩ وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ ٧٠
“Dan Tuhan mu menciptakan apa yang
dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.
Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan
(dengan Dia). Dan Tuhan mu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam)
dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dia-lah Allah, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nya lah Segala Puji di
dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya lah Segala Penentuan Hukum dan hanya
kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (Al Qashash: 68-70)
لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan bagi-Nya lah segala penetuan hukum dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (Al Qashash: 88)
Serta ayat-ayat muhkamat lainnya yang menjelaskan bahwa penetuan hukum baik hukum kauniy mapun hukum syar’i
adalah hak khusus Allah ta’ala yang bila sebagiannya disandarkan atau
dipalingkan kepada selain-Nya maka itu berarti bentuk penyekutuan
terhadap-Nya, bentuk pengangkatan tuhan selain-Nya dan bentuk
pengangkatan tandingan bagi-Nya, sedangkan itu adalah kekafiran.
ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِم يَعْدِلُونَ
“Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka” (Al An’am: 1)
Bila orang yang menyandarkan hak tersebut kepada selain Allah Ta’ala adalah
divonis MUSYRIK lagi KAFIR, maka bagaimana halnya dengan orang yang
mengakui hak pembuatan hukum itu ada pada dirinya atau kelompoknya atau
lembaganya, maka tidak ragu lagi bahwa orang semacam ini lebih KAFIR
LAGI karena mengakui dirinya tuhan, walaupun dia tidak membuat hukum,
sebagaimana yang diklaim oleh lembaga-lembaga legislatif dengan semua
tingkatannya dan para anggota di dalamnya yang diberi kewenangan
pembuatan UUD atau UU seperti yang tertuang di dalam UUD 1945.
وَمَن يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِّن دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ
“Dan barangsiapa diantara mereka
mengatakan: “sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Allah”, maka
orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan
pembalasan kepada orang-orang zalim” (Al Anbiya: 29)
Kami adalah para anggota legislatif yang
berwenang membuat UU makna artinya kami adalah tuhan-tuhan selain Allah.
Orang-orang semacam ini lebih KAFIR daripada para nabi palsu seperti
Musailamah Al Kadzdzab dan yang lainnya.
Para pembuat hukum dan UU itu telah
divonis dengan berbagai vonis yaitu: arbab, wali-wali syaitan,
sekutu-sekutu yang disembah, thaghut dan aulia (pemimpin-pemimpin) kesesatan, serta orang-orang bodoh.
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang
‘alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan” (At Taubah: 31)
Bentuk pentuhanan diri yang dilakukan
‘alim ‘ulama dan para rahib di sini adalah pembuatan hukum yang mereka
lakukan, dimana RasulullahShallallahu ‘Alaih Wa Sallam berkata dalam hadits hasan perihal tafsir ayat ini kepada Adiy ibnu Hatim radliyallahu ‘anhu “Bukankah
mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian (ikut)
menghalakannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian
kalian (ikut) mengharankannya?” Adiy menjawab: “Ya”, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaih Wa Sallam berkata: “Maka itulah peribadatan kepada mereka.”
Dan itu adalah yang dilakukan para
legislatif dan pejabat tertentu yang diberikan kewenangan pembuatan
hukum dan UU. Jadi setiap person para anggota legislatif adalah MUSYRIK
KAFIR lagi dipertuhankan selain Allah ta’ala, dan MURTAD bila asalnya
muslim dan bila mengatasnamakan ajaran maka dia itu orang yang
mengada-ada kebohongan terhadap Allah ta’ala.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْكَافِرِينَ
“Dan siapakah yang lebih zalim
daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau
mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah
dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang kafir?” (Al ‘Ankabut: 68)
Mereka juga divonis sebagai wali-wali syaithan, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah kefasiqan. Sesungguhnya
syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu dan
jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi
orang-orang yang musyrik” (Al An’am: 121)
Ayat ini di antaranya berkaitan dengan
perdebatan anatara Aulia Ar Rahman dengan Aulia Asy Syaithan (kafirin
Quraisy), dimana orang-orang kafir menghalalkan bangkai dan mendebat
kaum muslimin agar ikut menghalalkannya, Al Hakim meriwayatkan dengan
sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma mereka berkata: “Apa
yang disembelih Allah maka kalian tidak memakannya, sedang yang kalian
sembelih maka kalian memakananya; maka Alllah menurunkan… Sesungguhnya
syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu…”. Di sini hanya satu hukum saja yaitu pengahalalan bangkai, namun Allah ta’ala memvonis
orang yang menurutinya sebagai orang musyrik, dan pembuatnya sebagai
wali (kawan) syaithan, dan hukum itu sebagai wahyu (bisikan) syaithan.
Sedangkan yang dilakukan para anggota
legislatif adalah lebih dari itu; penghalalan (pembolehan atau peniadaan
sangsi) yang haram, pengaharaman (penetapan sebagai kejahatan dan
tindak pidana atau penetapan sangsi) hal yang halal, dan pembuatan
ketentuan-ketentuan yang menyelisihi syari’at Allah ta’ala, maka mereka itu adalah wali-wali syaithan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang
dikala menghalalkan suatu yang haram yang telah di ijma’kan atau
mengharamkan suatu yang halal yang sudah di ijma’kan atau mengganti
aturan yang sudah di ijma’kan, maka dia itu kafir lagi murtad dengan
kesepakatan para fuqaha” (Majmu Al Fatawa)
Mereka juga adalah syuraka (sekutu-sekutu) yang disembah selain Allah sebagaimana firman Nya ta’ala:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien yang tidak diijinkan Allah” (Asy Syura: 21)
Sedangkan diantara makna Dien adalah hukum atau UU, sebagaimana firman Nya ta’ala:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut dien (UU) raja” (Yusuf: 76)
Jadi para pembuat hukum atau UU itu adalah yang disembah selain Allah ta’ala dengan ketaatan para aparat penegak hukum kepada hukum buatan mereka itu “…dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik…” (Al An’am: 121) ”…mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…” (At
Taubah: 31) berikut tafsir hadits bahwa ibadah di ayat ini adalah
ketaatan kepada hukum buatan mereka, sedangkan ketaatan atau
kekomitmenan merujuk kepada hukum selain Allah ta’ala adalah ibadah kepada si pembuat hukum itu.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah berkata: “Bahwa setiap orang yang itiba’
(mengikuti) aturan, uu dan hukum yang menyelisihi apa yang allah ta’ala
syari’atkan lewat lisan rasul nya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
dia itu musyrik kepada allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu
sebagai tuhan.” (Risalah Al Hakimiyah Fi Tafsir Adlwail Bayan), dan
beliau berkata juga: “Penyekutuan di dalam hukum adalah sama seperti
penyekutuan di dalam ibadah.”
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Ulama
telah ijma’ bahwa barang siapa memalingkan sesuatu dari dua macam doa
kepada selain Allah maka dia itu musyrik meskipun mengucapkan laa ilaaha
illallah, dia shalat dan shaum serta mengaku muslim” (Ibthalut Tandid:
76). Dua doa disini adalah doa ibadah dan doa mas-alah (permintaan),
sedangkan penyandaran ketaatan adalah termasuk doa ibadah. Itu orang
yang menyandarkan, maka bagaimana halnya dengan orang yang menerima
penyandaran ibadah dan mengajak manusia kepadanya seperti para anggota
legislatif itu…! Sungguh mereka lebih kafir dari Musailamah dan Mirza
Ghulam Ahmad serta para pengaku nabi lainnya. Mereka juga adalah thaghut
sebagaimana firman Nya ta’ala:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيداً
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk
kafir kepada thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisa: 60)
Thaghut di dalam ayat ini di antaranya adalah para pembuat hukum, Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata
perihal tokoh para thaghut yang kedua: ”Penguasa yang aniaya dan
merubah aturan-aturan Allah” (Risalah Fi Ma’na Thaghut di dalam Majmu’ah
At Tauhid). Jadi semua anggota legislatif itu adalah thaghut yang
diibadati, sama seperti patung-patung yang dipajang di candi Borobudur,
bila patung-patung itu diibadahi dengan doa, sesajian dan ritual
lainnya, maka berhala-berhala berdasi di biara parlemen dan gedung dewan
itu diibadati dengan ditaati hukum hasil buatannya…
أَأَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf: 29).
Mana yang lebih baik, hukum
yang diturunkan Allah ta’ala yang mengetahui segalanya ataukah hukum
buatan orang-orang kafir dan murtad yang memiliki aneka macam
kepentingan dan selalu ditemani syaithan…?
Mereka juga divonis sebagai pemimpin-pemimpin kesesatan sebagaimana firman Nya:
اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah mengikuti aulia (pemimpin-pemimpin) selain-Nya” (Al A’raf: 3)
Apa yang digulirkan oleh para anggota
legislatif itu jelas bukan apa yang Allah turunkan, sehingga mereka itu
adalah para pemimpin kesesatan dan kekafiran yang mengajak manusia
kepada hukum (dien) mereka yang zalim seluruhnya walaupun mereka
menyebutnya sebagai keadilan, karena syirik adalah kezaliman yang sangat
besar, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang sangat besar“(Luqman: 13)
Mereka juga divonis sebagai orang-orang bodoh, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui”. (Al Jatsiyah: 18)
Jadi para anggota legislatif
itu adalah orang-orang yang tidak mengetahui alias orang bodoh, karena
semua orang kafir pada hakikatnya adalah orang-orang yang
bodoh,sebagaimana firman-Nya ta’ala:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
“Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah hai orang-orang yang bodoh…?” (Az Zumar: 64),
Ini karena :
لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
“Mereka mempunyai hati, tapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunya
mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Alla). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi” (Al A’raf: 179)
Itulah vonis-vonis Allah ta’ala bagi
para anggota legislatif (MPR, DPR, DPRD dan yang serupa itu) dan bagi
para pembuat hukum atau UU dan para pengklaim memiliki kewenangan itu
walau tidak membuat. Maka masih adakah yang meragukan kekafiran mereka…?
atau adakah orang yang memberi udzur sebagian mereka dengan udzur
takwil atau ijtihad dan yang serupa itu padahal dia tidak mengudzur yang
kekafirannya di bawah kekafiran para pengaku tuhan itu…?
Sungguh tidak ada yang meragukan
kekafiran mereka kecuali orang kafir seperti mereka atau para penganut
paham bid’ah yang berpijak di atas syubhat, atau katak dalam tempurung
yang tidak mengetahui realita yang terjadi di sekitarnya...
B. PEKERJAAN YANG MERUPAKAN PEMUTUSAN DENGAN HUKUM BUATAN
Pekerjaan pemutusan dengan selain hukum Allah ta’ala yang
merupakan pekerjaan para yudikatif dan eksekutif, yaitu seperti para
hakim, para jaksa dan para pejabat adalah pekerjaan kekafiran dengan
sendirinya. Selain mereka memutuskan dengan hukum thaghut, mereka juga
sudah pasti tahakum (merujuk hukum) kepada hukum thaghut yang menjadi sandarannya, sedangkan masing-masing dari keduanya merupakan kufur akbar.
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (Al Maidah: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (Al Maidah: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (Al Maidah: 47)
Ayat-ayat ini dengan rentetan ayat sebelumnya adalah berkaitan dengan orang yang meninggalkan hukum Allah ta’ala dan
malah merujuk kepada hukum tandingan yang mereka sepakati sebagai
rujukan. Al Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Al Bara ibnu ‘Azib radliyallahu’anhu berkata: “Dilewatkan
kepada Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam seorang Yahudi yang wajahnya
dipoles hitam lagi di dera, maka beliau memanggil mereka dan berkaata:
“Seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab kalian?”, mereka
berkata: “ya”, maka beliau memanggil seorang dari ulama mereka, terus
berkata: “Saya ingatkan kamu dengan Allah yang telah menurunkan Taurat
kepada Musa, seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab
kalian?”, maka dia berkata: “tidak, demi Allah, seandainya kamu tidak
mengingatkan saya dengan hal ini tentu saya tidak mengabarkan kepadamu.
Kami mendapatkan had pezina di kitab kami itu rajam, namun tatkala hal
itu banyak dikalangan para bangsawan kami, maka kami bila seorang
bangsawan berzina kamipun membiarkannya, dan bila orang lemah berzina
maka kami tegakkan had itu kepadanya. Kemudian kami berkata: “Mari kita
sepakati agar kita menjadikan sesuatu (hukuman) yang kita tegakkan
terhadap bangsawan dan orang papa”, maka kami pun sepakat terhadap
tahmim (pemolesan wajah dengan warna hitam) dan dera”.
Di sini mereka tidak menghapus hukum Allah ta’ala yang
ada di dalam Taurat dan mereka juga tidak menghalalkan zina, namun
mereka menyepakati hukum lain yang diterapkan di tengah mereka.
Dan orang-orang yang memutuskan dengan hukum buatan pada zaman ini juga
sama seperti mereka, sehingga vonis yang diterapkan kepada orang-orang
itu juga sama dengan yang disematkan kepada mereka “…maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”, dan ulama sepakat bahwa gambaran yang sama dengan sebab turun ayat adalah masuk secara qath’iy di dalam hukum yang ada di ayat itu.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa
meninggalkan aturan baku yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah
penutup para nabi dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum yang
sudah dinaskh (dihapus), maka dia telah kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk hukum kepada Alyasa
(Yasiq) dan lebih mendahulukannya terhadap (aturan Muhammad) itu, maka
dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah:
13/119).
Sedangkan Alyasa (Yasiq) itu adalah kitab
hukum yang disusun oleh Jengish Khan yang diambil dari gabungan hukum
Islam, Yahudi, Nasrani, ahli bid’ah dan pikiran dia sendiri, sama
seperti yang dibuat oleh pemerintahan thaghut negeri ini dimana mereka
merangkum dari Islam (dipakai di Pengadilan Agama yang disebut akhwal syakhshiyyah kaitan
dengan nikah, cerai dan warisan), dari Yahudi dan Nasrani (seperti KUHP
dan yang lainnya sisa penjajahan Belanda dan dipakai sekarang oleh
penjajah lokal) dan dari buah pikiran para arbab di parlemen
atau di lembaga lainnya, yang semua tidak terlepas dari batasan Yasiq
terbesarnya yaitu UUD 1945 yang sering ditambal sulam.
Pemerintah, pejabat, hakim dan jaksa semuanya meninggalkan ajaran Allah ta’ala dan
malah memutuskan dan merujuk kepada Yasiq modern, maka mereka kafir
dengan ijma kaum muslimin, bahkan mereka itu salah satu tokoh thaghut,
sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah bahwa
diantara tokoh para thaghut yang ketiga: Yang memutuskan dengan selain
apa yang Allah turunkan, dan dalilnya adalah firman-Nya ta’ala: “Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Risalah Fi Ma’na Thaghut, Majmu’ah At Tauhid). Vonis ini walaupun dalam satu hukum saja, seperti dalam sebab nuzul ayat itu.
C. PEKERJAAN YANG SIFATNYA PEMBELAAN KEPADA THAGHUT ATAU SISTEMNYA
Dan ini biasa para pelakunya dinamakan
Anshar Thgahut seperti Tentara, Polisi, Intelejen dan yang lainnya yang
bertugas mengokohkan thaghut atau sisitemnya atau kedua-duanya baik
dengan lisan maupun dengan fisik dan senjata. Thaghut atau sistemnya
tidak akan kokoh dan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa anshar yang
membelanya, melindunginya dan selalu siap siaga berperang di jalannya,
oleh sebab itu Allah menamakan anshar thaghut (bala tentaranya) bagai
pasak, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ ١٠ الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ ١١ فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ ١٢
“Dan Fir’aun yang memiliki
pasak-pasak (tentara yang banyak) yang berbuat sewenang-wenang dalam
negeri, lalu mereka membuat banyak kerusakan dalam negeri itu” (Al Fajr: 10-12)
Oleh sebab itu sanksi dunia
dan akhirat pun sama-sama didapatkan oleh thaghut dan pembantunya
berikut ansharnya sebagaiman firman-Nya ta’ala:
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ
“Maka Kami siksa dia (Fir’aun) dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut”. (Adz Dzariyat: 40),
dan firman-Nya ta’ala:
إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ
“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah”. (Al- Qashash: 8),
dan firman-Nya ta’ala:
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ ٤٠ وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنصَرُونَ ٤١
“Maka Kami hukumlah Fir’aun dan bala
tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah
bagaimana akibat orang-orang yang zalim. Dan Kami jadikan mereka
pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat
mereka tidak akan ditolong”. (Al- Qashash: 40-41).
Anshar Thaghut itu ada dua:
1. Orang atau dinas yang membela
thaghut dengan fisik dan senjata seperti tentara, polisi, intelijen, dan
yang lainnya yang dibentuk dan dipersiapkan untuk itu.
2. Orang atau dinas yang membela thaghut
atau sistemnya dengan lisan atau tulisan, baik itu wartawan atau para
cendikiawan dan juga para ulama atau du’at suu’ yang menetapkan
keabsahan pemerintahan thaghut ini dan mencap kaum muslimin yang
berjihad melawannya sebagai para pembangkang atau khawarij. Dan
sikap para ulama dan du’at suu’ ini lebih berbahaya daripada sikap
tentara dan polisi terhadap umat, karena mereka berbicara atas Nama
Allah ta’ala dalam membela para thaghut itu di hadapan umat, sedangkan
tentara dan polisi bertindak atas dasar dunia (gaji dan pensiun). Adapun
dalil-dalil perihal kekafiran anshar thaghut ini maka dari Al Qur’an,
As Sunnah dan ijma.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُواْ أَوْلِيَاء الشَّيْطَانِ
“Orang-orang yang beriman berperang
di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan Thaghut, sebab
itu perangilah kawan-kawan setan itu. (An Nisa: 76).
Nash yang tegas menyatakan bahwa orang yang beperang di jalan thaghut adalah orang-orang kafir.
قُلْ مَن كَانَ عَدُوّاً لِّجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللّهِ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ ٩٧ مَن كَانَ عَدُوّاً لِّلّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللّهَ عَدُوٌّ لِّلْكَافِرِينَ
”Katakanlah: barangsiapa menjadi
musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkan (Al-Qur’an) kedalam
hatimu dengan seijin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang
beriman. Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya,
Rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail maka sesungguhnya Allah adalah musuh
orang-orang kafir. (AL Baqarah: 97-98).
Al Imam Ahmad, At Tirmidzi, dan An Nasai, meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhuma bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kabarkanlah
kepada kami siapa kawanmu?”, beliau menjawab: “Jibril”. Mereka berkata:
“Jibril itu yang turun dengan (membawa) pertempuran, peperangan dan
azab, musuh kami? andaikata kamu mengatakan Mikail yang turun dengan
rahmat, tanaman dan hujan tentu ia lebih baik”, maka turun ayat di atas.
Orang yang memusuhi Jibril
yang merupakan salah satu utusan Allah ta’ala dari kalangan malaikat,
maka dia adalah musuh bagi Allah, malaikat-malaikat-Nya dan semua
rasul-Nya, dan dia itu divonis kafir oleh Allah ta’ala. Dan begitu juga orang yang memusuhi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu adalah musuh bagi Allah, semua malaikat dan semua rasul, dan dia itu adalah orang kafir.
Sedangkan bentuk permusuhan terhadap Allah ta’ala dan
Rasul-Nya macam apa yang lebih dahsyat dari sikap thaghut dan ansharnya
yang mencampakkan hukum Allah ta’ala, menjunjung tinggi hukum syaitan,
meninggikan orang-orang kafir dan orang-orang murtad serta orang-orang
bejat dan mereka malah mempersulit orang-orang yang bertauhid,
memenjarakan dan membunuhi mereka, melapangkan jalan bagi setiap perusak
ajaran Allah ta’ala dan membatasi gerakan para penyeru tauhid,
mematikan tauhid dan menghidupkan syirik dan kerusakan…?!!
Dan anshar thaghut adalah
dipersiapkan untuk menjaga keamanan sistem kafir dan mempertahankan
negara kafir dari setiap upaya yang ingin merubahnya dengan sistem yang
diturunkan Allah ta’ala, oleh sebab itu mereka adalah kafir baik
berperang melawan kaum muwahhidin ataupun bukan, karena sikap mereka tawalliy (loyalitas
yang megeluarkan dari Islam) kepada syirik, dan bila memerangi
muwahhidin maka mereka menggabungkan antara tawalliy kepada syirik
dengan tawalliy kepada orang-orang musyrik.
أَلَمْ تَر إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَداً أَبَداً وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang
kafir di antara ahli kitab: ”Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya
kamipun akan keluar bersama kalian dan kami selama lamanya tidak akan
patuh kepada siapapun untuk menyulitkan kamu, dan jika kalian diperangi
pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa
sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (Al Hasyr: 11).
Allah tala mempertalikan ukhwah kufuriyyah (persaudaraan kekafiran) antara orang orang munafik yang dhahirnya Islam dengan orang orang Yahudi, yaitu Allah ta’ala menvonis
mereka kafir, dengan sebab janji mereka untuk membantu orang orang
Yahudi itu bila diserang kaum muslimin, padahal janji mereka itu dusta,
maka bagimana halnya dengan orang orang yang secara rutin berikrar janji
dan sumpah untuk membela thaghut dan sistemnya bila ada rongrongan
musuh (yang di antarannya mujahidin muwahhidin), dan mereka selalu siap
siaga kapan saja dipanggil dan mereka sebelumnya bersaing untuk masuk
dalam barisan itu ?. Bukankah itu realita tentara dan polisi serta yang
serupa itu di negeri ini ?, janganlah ragu terhadap kekafiran mereka
secara ta’yin. Andai tidak ada janji dan sumpah itu, tetap saja mereka
itu kafir karena dzat dinas dan tugas mereka sejak awal adalah
membela thaghut dan sistemnya, sedangkan sumpah dan janji itu adalah
penambahan bagi kekafiran mereka. Mereka itu kafir saat perang, atau
shalat atau haji atau tidur selama belum berlepas diri dari kekafiran
mereka itu.
Bagaimana tentara, polisi juga intelejen serta anshar qanun
(pembela undang-undang) yang dinas di penjara-penjara thaghut bisa
disebut muslim sedangkan mereka tidak kafir kepada thaghut (Pancasila,
UUD dan undang-undang turunannya) yang merupakan salah satu dari dua
rukun laa ilaaha illallaah.
Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata: “Sekedar
mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa
mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan
syirik akbar dan kufur kepada thaghut, maka sesungguhnya (pengucapan)
itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma”. (Taisir Al Aziz Al Hamid, dinukil dari Al Haqaiq, Syaikh Ali Al Khudlair).
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa orang
yang mengucapkan ucapan kekafiran maka dia kafir, walupun dusta, maka
apa gerangan bila dia serius ?.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
dalam hadits yang globalnya ada dalam Shahih Al Bukhari memperlakukan
Al ‘Abbas yang berada di barisan anshar thaghut Quraisy sebagaimana
perlakukan terhadap orang kafir, dimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menawannya
dan menyuruhnya untuk menebus dirinya, padahal dia itu mengaku muslim
dan mengaku dipaksa ikut perang Badr, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menoleh kepada pengakuan dan klaimnya itu dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Dhahir
kamu di barisan kaum musyrikin memerangi kami, adapun rahasia bathin
kamu maka urusan itu atas Allah, tebus diri kamu dan dua keponakanmu !” (Fathul Bariy).
Di sini jelas takfir mu’ayyan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada individu anshar thaghut walaupun dia mengaku dipaksa, beliau shallallahu‘alaihi wa sallam menghukumi dia kafir secara dhahir, dan batinnya diserahkan kepada Allah ta’ala dengan sebab pengakuan dipaksanya itu.
Maka bagaimana gerangan dengan tentara,
polisi, intelejen dan anshar thaghut hukum lainnya (sipir penjara) yang
tidak dipaksa dan mereka bersaing saat mendaftar, bangga dengan korpsnya
dan seragamnya, merasa pada posisi kuat dengan menjadi penyembah
thaghut itu…?!!
وَاتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لِّيَكُونُوا لَهُمْ عِزّاً
“Dan mereka telah mengambil tuhan-tuhan selain Allah, agar tuhan-tuahn itu menjadi pengokoh (pelindung) bagi mereka”. (Maryam 81).
Dan mereka lakukan itu demi menggapai dunia (gaji dan tunjangan)
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Yang demikian itu disebabkan karena
sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan
bahwasannya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir”. (An Nahl: 107)
Dan mereka selalu siap siaga kapan saja
dipanggil serta kekafiran-kekafiran lainnya. Maka jangan ragu-ragu
terhadap kekafiran mereka secara ta’yin. Ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lebih wara’ dan lebih hati-hati daripada kamu, tapi beliau mengkafirkan secara mu’ayan
(personal) orang yang bergabung di barisan anshar thaghut Quraisy
padahal mengaku muslim dan mengaku dipaksa, namun kamu bersikap wara’
dari mengkafirkan ta’yin (personal) tentara dan polisi thaghut itu, maka wara’ macam apa itu…?!!
Para shabat pada zaman Abu Bakar Ash Shidiq radliyallahu ‘anhum telah ijma
(sepakat) terhadap kekafiran anshar thaghut Musailamah Al Kadzdzab dan
nabi palsu lainnya secara ta’yin, dimana saat utusan Buzakha’ meminta
damai dan taubat datang kepada Abu Bakar radliyallahu ‘anhu,
maka beliau mengutarakan beberapa syarat yang disepakati para sahabat di
antaranya bahwa mantan orang-orang murtad itu harus bersaksi bahwa
orang-orang yang mati terbunuh dari mereka adalah masuk neraka.
Sedangkan orang-orang yang terbunuh itu adalah orang-orang yang mu’ayanin
(tertentu) dan sedangkan yang boleh dipastikan masuk neraka dalam
aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah hanyalah orang-orang yang mati dalam
kondisi kafir, dan orang muslim walaupun ahli maksiat tidak boleh
dipastikan masuk neraka. Ini artinya para sahabat ijma atas kekafiran
anshar thaghut secara ta’yin. (Ijma ini bisa dilihat di dalam
Risalah Mufidul Mustafid dan Syarah Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin
ke-6, milik Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab dan Al Jami’ bahasan
Anshar Thaghut milik Syaik Abdul Qadir ibnu Abdil Aziz).
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata
perihal orang-orang yang dikafirkan dengan sebab syirik akbar: “…dan
begitu juga (kami kafirkan) orang yang berdiri dengan pedangnya
melindungi kuburan-kuburan yang dikeramatkan ini semuanya dan dia
memerangi orang yang mengingkarinya dan berupaya untuk
melenyapkannya”.Sedangkan tentara, polisi dan satgas syirik lainnya
adalah penjaga dan pengawal Pancasila syirik, demokrasi kafir dan UU
thaghut, dimana lisan mereka selalu bergema melantunkan dengan lantang
Garuda Pancasila, Akulah Pendukungmu, Patriot Proklamasi, Rela Berkorban
Untukmu.
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah tentang
anshar Musailamah Al Kadzdzab yang tertipu oleh para saksi palsu dan
para du’at penipu yang mengabsahkan klaim Musailamah: “…namun begitu
para ulama ijama bahwa mereka itu murtad walaupun mereka jahil akan hal
itu, dan barang siapa ragu perihal kemurtadan mereka maka dia kafir.” (Syarah
Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin ke-6, Majmuah At Tauhid), bahkan
diantara yang menjadi saksi keabsahan Musailamah adalah Ibnu Unfuah
utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamkepada Banu
Hanifah (kaum Musailamah) yang malah membelot kepada Musailamah dan
menyesatkan mereka, begitu juga banyak orang yang tertipu menjadi anshar
thaghut (tentara, polisi, intelejen, kepala lapas dan anak buahnya dan
lain-lain) oleh ulama suu’ dan du’at penyeru di atas pintu-pintu jahanam
yang mengabsahkan pemerintahan kafir murtad ini, sistemnya, falsafahnya
dan hukumnya (pemerintahan RI), di antara mereka ada yang duduk menjadi
thaghut di parlemen, ada yang menjadi menteri agama Pancasila, ada yang
menjadi du’at departemen agama thaghut, ada sebagai Bintal (pembintaan
mental) di militer dan posisi-posisi lainnya yang menipu umat.
Di dalam kaidah fiqiyyah ditegaskan bahwa status personel thaifah mumtani’ah (kelompok yang mengokohkan diri atau melindungi diri dengan kekuatan yang dimilikinya) adalah tergantung pemimpinnya. Bila thaifah itu adalah bughat (pemberontak muslim) maka personelnya adalah baghiy (pemberontak muslim), bila Khawarij maka personelnya Khariji, bila thaifah itu adalah pemerintah murtad maka personel ansharnya adalah orang kafir murtad (bila mengaku muslim).
D. PEKERJAAN YANG BERSIFAT MENYETUJUI DAN MENGIKUTI SISTEM THAGHUT
Seperti pekerjaan-pekerjaan yang ada di
dinas kejaksaan, kehakiman, KPU, Sekretariat MPR/DPR/DPRD dan yang
serupa dengan itu yang intinya menyetujui dan mengikuti sistem atau
hukum kafir. Umpamanya seorang petugas kejaksaan (bukan Jaksa) saat
memborgol dan mengkrangkeng atau menjemput tahanan adalah dalam rangka
mengikuti hukum thaghut, seorang petugas Sijn (sipir penjara/LP) bertugas menjaga narapidana agar tidak kabur dalam rangka mengikuti hukum thaghut dan seterusnya.
Pekerjaan-pekerjaan ini sama dengan
pekerjaan-pekerjaan sebelunya adalah kekafiran, baik ada sumpah maupun
tidak ada karena menyetujui atau mengikuti hukum kafir tanpa ikrah (dipaksa) adalah tawaliy/muwallah kubra (loyalitas yang mengeluarkan dari Islam)
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ٢٥ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ ٢٦ فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ ٢٧ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ ٢٨
”Sesunguhnya orang-orang yang kembali
ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka,
syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan
angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu
berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah:
“Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah
mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila
malaikat maut mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan
punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka
mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka
membenci (apa yang menimbulkan) keridlaan-Nya; sebab itu Allah menghapus
(pahala) amal-amal mereka”. (Muhammad: 25-28)
Di dalam ayat-ayat ini Allah ta’ala memvonis murtad
orang yang berjanji kepada orang-orang kafir bahwa dia akan mematuhi
atau mengikuti mereka dalam satu urusan kekafiran, maka bagaimana halnya
dengan orang yang benar-benar mematuhi atau mengikuti dalam urusan
kekafiran itu?, dan bagaimana halnya dengan orang yang tugasnya adalah
menjalankan aturan kafir dan bila dia diprotes maka dia menjawab “ saya hanya menjalankan tugas atau perintah” atau “ saya hanya menjalankan atau mengikuti hukum yang berlaku” ?. Jelas
mereka mengikuti apa yang menimbulkan murka Allah ta’ala dan dengan
tindakannya itu mereka membenci apa yang mendatangkan ridla-Nya.
Allah ta’ala befirman :
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepadamu hingga
kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak
lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (Al Baqarah : 120)
Dan firman-Nya ta’ala :
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم مِّن بَعْدِ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذَاً لَّمِنَ الظَّالِمِينَ
“Sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu sesungguhnya kalau
begitu kamu termasuk orang-orang yang zalim”. (Al Baqarah: 145)
Ayat itu menjelaskan bahwa
seandainya orang muslim mengikuti ajaran kafir tanpa dipaksa maka dia
itu kafir walaupun di hati tidak menyukainya atau dia membencinya atau
hatinya masih beriman, karena keyakinan hati ini tidak dianggap saat
lisan mengucapkan kekafiran atau anggota badan mengerjakan kekafiran
kecuali saat kondisi ikrah (dipaksa) saja, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَـكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْراً فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ١٠٦ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ ١٠٧
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah
sesudah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa padahal hatinya tetap
tenang dengan keimanan, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka Allah menimpa mereka azab yang besar. Yang demikian itu
disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih
dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kaum yang
kafir”. (An Nahl: 106-107)
Ayat ini menunjukan bahwa kekafiran itu tidak dimaafkan kecuali dengan sebab ikrah saja, dan ayat ini menunjukan juga bahwa orang yang mengucapkan atau mengerjakan kekafiran tanpa ikrah adalah
telah melapangkan dadanya untuk kekafiran walaupun dia mengklaim
sebaliknya atau mengklaim mencintai Islam tetap saja dia divonis kafir
dan Allah ta’ala nyatakan bahwa kekafiran itu terjadi bukan karena ingin kafir atau benci kepada Islam, namun “…karena mereka sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat”, yaitu gaji, tunjangan, fasilitas kehidupan dan jaminan pensiun di masa tua.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan
secara umum barangsiapa mengucapkan atau mengerjakan sesuatu yang
merupakan kekafiran maka dia kafir dengan sebab itu meskipun dia tidak
bermaksud untuk kafir, karena tidak bermaksud untuk kafir seorangpun
kecuali apa yang Allah kehendaki”. (Ash Sharimul Maslul).
Syaikh Sulaiman ibnu Abdilllah Alu Asy Syaikh rahimahullah
berkata “Ulama ijma bahwa siapa yang mengucapkan atau mengerjakan
kekafiran maka dia kafir, baik dia itu serius atau bercanda atau
main-main, kecuali orang yang dipaksa”. (Ad Dalail: 1).
Bahkan Allah ta’ala berfirman perihal
orang-orang yang mengucapkan kekafiran terus beralasan bahwa mereka
hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja
لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“…tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian kafir setelah beriman” (At Taubah: 66)
E. PEKERJAAN YANG DISYARATKAN TERLEBIH DAHULU UNTUK BERSUMPAH ATAU BERJANJI SETIA KEPADA THAGHUT/SISTEM DAN HUKUMNYA
Setiap pekerjaan di dalam dinas
pemerintahan thaghut ini walaupun asal pekerjaannya mubah atau haram
yang tidak sampai kepada kekafiran, namun sebelum diangkat menjadi
pegawai/pekerja disyaratkan mengikrarkan sumpah/janji setia kepada
thaghut, maka ini adalah kekafiran karena sebab sumpah/janjinya itu
bukan karena dzat pekerjaannya. Umpanya menjadi mantri atau dokter di
puskesmas atau rumah sakit adalah mubah, namun bila dia sumpah setia
kepada thaghut sebelumnya maka dia kafir karena sumpahnya. Menjadi PNS
di Bea Cukai atau Perpajakan atau Imigrasi adalah pekerjaan haram karena
semuanya kezaliman, namun tidak sampai kepada kekafiran akan tetapi
bila sebelumnya ada sumpah atau janji setia kepada thaghut maka menjadi
kafir dengan sebab sumpahnya itu.
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ٢٥ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ ٢٦ فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ ٢٧ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ ٢٨
”Sesunguhnya orang-orang yang kembali
ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka,
syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan
angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu
berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah:
“Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah
mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila
malaikat maut mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan
punggung mereka? yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka
mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka
membenci (apa yang menimbulkan) keridlaan-Nya; sebab itu Allah menghapus
(pahala) amal-amal mereka”. (Muhammad: 25-28)
Di sisi Allah taa’ala memvonis
murtad orang yang berjanji kepada orang-orang kafir untuk mematuhi
sebagian urusan kekafiran mereka, maka apa gerangan dengan orang yang
berjanji untuk setia kepada falsafah kafir, hukum kafir dan negara kafir
dan untuk mematuhi segala aturan thaghut…???, dan apa gerangan dengan
orang yang mengatakan janjinya dan sumpahnya itu dengan nama Allah…???,
sedangkan sesuai dengan aturan main/UU thaghut bahwa orang yang resmi
menjadi PNS harus mengikrarkan sumpah PNS seraya disaksikan seorang
rohaniawan dan pejabat dilingkungan dinasnya, dan isi sumpahnya adalah
sumpah dengan nama Allah untuk setia kepada Pancasila, UUD 45 dan Negara
Kafir Republik Indonesia (NKRI) dan untuk mematuhi segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta untuk menjaga rahasia negara dan
mendahulukan kepentingan negara terhadap kepentingan golongan (yaitu
agama Islam diantaranya). Hakikat sumpah itu adalah: “DEMI ALLAH SAYA
AKAN KAFIR KEPADA ALLAH DAN BERIMAN KEPADA THAGHUT…!!!” padahal Allah
ta’ala:
أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
“… beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu…” (An Nahl: 36)
Dan Allah ta’ala berfirman :
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا
“…barangsiapa kafir kepada thaghut
dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kokoh yang tidak akan putus” (Al BAqarah: 256).
Bila orang itu mengklaim bahwa dia
ucapkan itu seraya berdusta dan dihatinya tidak ada niat untuk setia dan
patuh, maka kami katakan bahwa kamu tetap kafir…! walau hanya bohongan
saat mengikrarkan sumpah itu, karena Allah telah mencap kafir orang yang
berjanji bohong untuk melakukan kekafiran (yaitu membantu orang-orang
Yahudi dalam melawan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana firman-Nya ta’ala:
أَلَمْ تَر إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَداً أَبَداً وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang
kafir di antara ahli kitab: ”Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya
kamipun akan keluar bersama kalian dan kami selama lamanya tidak akan
patuh kepada siapapun untuk menyulitkan kamu, dan jika kalian diperangi
pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa
sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (Al Hasyr: 11).
Alasan yang diterima Islam hanya ikrah (paksaan),
sedangkan kalian tidak dipaksa dan malah justru bersaing untuk menjadi
pegawai dan bahkan dengan menyogok agar lulus, tapi
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“… yang demikian itu disebabkan
karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat,
dan bahwasannya Allah ta’alatidak member petunjuk kepada kaum yang
kafir”. (An Nahl: 107)
Ini adalah bentuk-bentuk pekerjaan yang kufur akbar di dinas pemerintahan thaghut ini, dan untuk poin A, B, C dan D
pekerjaan-pekerjaan di sana adalah kekafiran akbar dengan sendirinya
yaitu dzat pekerjaannya adalah kufur akbar dan syirik akbar sehingga
individu orangnya bisa kita kafirkan karena terbukti kekafirannya di
hadapan kita. Adapun yang poin E yaitu yang dikafirkan
dengan sebab sumpah/janji setia bukan karena dzat dinas atau
pekerjaannya maka kita tidak bisa mengkafirkan individu orangnya kecuali
kalau kita mengetahui lansung bahwa dia bersumpah, atau orang itu
mengakui bahwa dia bersumpah, atau ada dua saksi laki-laki adil yang
bersaksi dihadapan kita bahwa keduanya melihat atau mendengar dia
bersumpah atau ada khabar yang istifadlah (masyhur diketahui khalayak umum) bahwa dia bersumpah.
Kalau ada salah satu dari hal-hal itu maka boleh mengkafirkan individu (ta’yin)
orang itu, namun bila tidak ada maka tidak boleh mengkafirkannya
walaupun sebenarnya dia itu bersumpah (kafir), di mana dihadapan Allah
ta’ala dia itu kafir sedangkan dihadapan kita dia itu
dihukumi muslim karena menampakkan keislaman. Dan bisa saja si A
mengetahui dia itu kafir karena melihatnya bersumpah sehingga
memperlakukannya sebagaimana orang kafir, namun si B tidak mengetahuinya
sehingga menganggapnya muslim, dan itu tidak ada masalah dan si A tidak
boleh memaksa si B untuk mengikuti vonis dia, tapi si B boleh mengikuti
si A bila dia adil sebagaimana Umar radliyallahu‘anhu mengikuti Hudzaifah radliyallahu ‘anhu dalam sikap tidak menshalatkan jenazah orang munafik yang hanya diketahui Hudzaifah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
<2>. Pekerjaan yang haram yang tidak sampai kepada kekafiran.
Yaitu setiap pekerjaan yang tidak
mengandung salah satu usur kekafiran di atas akan tetapi bergerak di
dalam bidang yang haram, seperti riba, kezaliman, membantu dalam
kezaliman, memakan harta manusia dengan batil, atau muwallah shugra (segala
yang menghantarkan kepada penghormatan dan kemuliaan orang kafir dengan
tetap membenci, memusuhi, dan mengkafirkannya), atau hal haram lainnya.
<3>. Pekerjaan yang makruh
Yaitu yang tidak ada unsur kekafiran dan
keharaman, dengan syarat darurat atau sangat membutuhkan dan tetap
menampakkan keyakinan (dien). Dikatakan makruh karena yang dituntut dari
orang muslim adalah menjauhi orang kafir. Dan adapun syarat menampakan
dien maka dia diambil dari kontek hadits atau atsar yang
menunjukkan bahwa sebagian shahabat bekerja pada orang-orang musyrik
seraya tetap menampakkan dien yang dianut, di mana Al Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Khabab ibnu Al Art radliayallahu ‘anhu berkata: “Saya
mendatangi Al ‘Ash ibnu Wail As Sahmi untuk menagih hak saya yang ada
padanya, maka dia berkata: “Saya tidak akan memberikannya kepadamu
sampai kamu kafir kepada Muhammad.”, maka saya berkata: “Tidak, sampai
kamu mati terus dibangkitkan pun.”
Bila tidak menampakkan diennya saat dia
bekerja di dinas milik thaghut maka dia berdosa karena meninggalkan
kewajiban demi dunia.
Orang yang kekafirannya hanya karena
sebab sumpah setia kepada thaghut namun dzat pekerjaannya bukan
kekafiran seperti bentuk pekerjaan model E, maka dia
menjadi muslim dengan berlepas diri dari sumpahnya itu dan ikrar dua
kalimah syahadat lagi, walaupun dia tidak keluar dari pekerjaannya,
namun yang utama adalah dia keluar dari pekerjaannya itu. Sedangkan
orang yang dzat pekerjaannya adalah kekafiran seperti bentuk-bentuk
pekerjaan model A, B, C, D, maka dia tidak menjadi muslim kecuali dengan keluar dari pekerjaannya dan ikrar dua kalimah syahadat lagi.
Wallahu Ta’ala A’lam.