بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Demokrasi diambil dari bahasa Latin, demos yang berarti rakyat dan kratos yang
berarti hukum atau kekuasaan. Jadi demokrasi adalah hukum dan kekuasaan
rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI dengan “Kedaulatan
berada di tangan rakyat”.
Demokrasi memiliki beberapa ajaran, di antaranya:
- Sumber hukum bukan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat
- Hukum yang dipakai bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan
- Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
- Kebenaran adalah suara terbanyak
- Tuhannya banyak dan beraneka ragam
- Persamaan hak
Ajaran-ajaran demokrasi atau dien
(agama) demokrasi ini semuanya kontradiktif dengan dien kaum muslimin,
Al Islam. Sebagian manusia merasa aneh saat kami menyebut demokrasi
sebagai dien padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
“Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dien al malik)…” (QS. Yusuf [12]: 76)
Undang-undang telah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala namakan
sebagai dien (agama/jalan hidup yang ditempuh), sedangkan demokrasi itu
memilliki undang-undang selain Islam. Jadi dien (agama) kafir itu bukan
hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi
saja… akan tetapi Demokrasi adalah dien, Nasionalisme adalah dien,
Kapitalisme adalah dien, Sekulerisme adalah dien. Sedangkan Islam adalah
dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi adalah dien kaum musyrikin,
baik kaum musyrikin yang mengaku Islam atau yang mengaku bukan Islam.
Untuk benar-benar mengetahui kekufuran
dien Demokrasi ini, maka mari kita kupas ajaran-ajarannya itu dengan
membandingkannya dengan ajaran Islam.
1. Sumber hukum bukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat.
Dikarenakan rakyat adalah yang berdaulat
dan yang berkuasa, maka sumber hukumnya pun adalah rakyat yang diwakili
oleh wakil-wakil mereka di Parlemen (MPR/DPR). Dan bila anda membuka
Konstitusi (Undang Undang Dasar) semua negara yang bersistem Demokrasi,
maka pasti mendapatkan bahwa kekuasaan Legislatif (tasyri’iyyah – pembuatan
hukum) ada di tangan majelis rakyat, ada juga yang ‘bebas’ seperti di
negara-negara barat, dan ada yang terbatas seperti di negara-negara Arab
dan negara timur yang mana Raja, Amir, dan Presiden sangat menentukan,
dan tidak lupa juga bahwa demokrasi atau aspirasi rakyat ini tidak
semuanya digulirkan, kecuali bila sesuai dengan thaghut Latta mereka
yaitu Undang Undang Dasar.
Padahal sumber/kekuasaan/wewenang hukum itu di dalam dien Al Islam ada di Tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS. Al An’am [6]: 57)
Setelah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan
bahwa Dia-lah yang menciptakan dan yang memilih apa yang Dia kehendaki
serta bahwa manusia tidak punya hak untuk memilih setelah Allah
menentukan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَهُوَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الأولَى وَالآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan
yang berhak diibadati melainkan Dia, bagiNya-lah segala puji di dunia
dan di akhirat, dan bagiNya-lah segala penentuan dan hanya kepadaNya-lah
kamu dikembalikan” (QS. Al Qashash [28]: 70)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
وَلا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنْزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٨٧) وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan janganlah sekali-kali mereka
dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah
ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan)
Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan. Janganlah kamu sembah di samping (menyembah)
Allah, tuhan apapun yang lain, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.
bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu
dikembalikan”. (QS. Al Qashash [28]: 87-88)
Ayat-ayat lainnya yang menjelaskan bahwa hak menentukan hukum dan putusan serta penetapan hanyalah milik Allah dan hak khusus rububiyyah serta uluhiyyah-Nya, Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah-lah yang memutuskan dan hanya kepada-Nyalah putusan itu (disandarkan)”
Ini adalah dienullah yang dianut oleh
kaum muslimin, sedangkan yang tadi adalah dien Demokrasi yang dianut
oleh kaum musyrikin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari
padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)
Apakah sama antara dua dien ini wahai manusia…?
Dan apa yang anda pilih, Islam ataukah Demokrasi…?
Bayangkan saja… bila yang menjadi sumber
hukum itu adalah manusia yang sangat penuh dengan kekurangan dan
keterbatasan, apa jadinya hukum yang diundang-undangkan itu? Bulan ini
dibuat dan diibadati, namun beberapa bulan berikutnya dihapuskan (baca:
dimakan) atau direvisi, karena sudah tidak relevan lagi, tidak ada
bedanya dengan tuhan (berhala) dari adonan roti yang mereka (kafir Arab
dahulu) buat dan mereka ibadati, namun ketika lapar mereka santap habis.
Sedangkan bila yang menjadi sumber hukum itu hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka Dia-lah Dzat Yang Maha Mengetahui segalanya.
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah yang menciptakan itu
tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan dia Maha
Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al Mulk [67]: 14)
2. Hukum yang dipakai bukan hukum Allah tapi hukum buatan
Tadi telah dijelaskan bahwa sumber hukum
agama Demokrasi adalah rakyat, maka sudah pasti hukum yang dipakai
adalah bukan hukum Allah, tapi hukum rakyat (wakilnya) atau hukum yang
disetujui oleh mereka, juga dikarenakan dien Demokrasi ini adalah
menyatukan semua pemeluk dien yang beraneka ragam dan mengakuinya serta
menampung semua aspirasinya, sedangkan untuk kesatuan mereka ini
dibutuhkan hukum yang mengikat semua dan disepakati bersama, padahal
para pemeluk dien selain Al Islam tidak akan rela dengan hukum
Islam sehingga disepakatilah hukum yang menyatukan mereka, dan itu bukan
hukum Allah, tapi hukum wali-wali syaitan.
Sungguh ini adalah kerusakan yang besar,
kekafiran yang nyata serta kemurtadan yang nampak jelas bagi pemeluk
Islam yang ridha dengannya atau mendukungnya apalagi menerapkan atau
melindunginya. Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
إ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah [5]: 44)
Sekutu dengan hukum buatan itu syirik akbar, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Tentang ayat ini Al Hakim dan yang
lainnya meriwatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas: Bahwa
orang-orang membantah kaum muslimin tentang sembelihan dan pengharaman
bangkai, mereka berkata: “Kalian makan apa yang kalian bunuh dan tidak makan dari apa yang Allah bunuh” yaitu bangkai, maka Allah berfirman “Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata
dalam tafsir ayat ini: “Dimana kamu berpaling dari perintah Allah dan
aturan-Nya kepada yang lainnya, terus kamu mendahulukan terhadap aturan
Allah yang lainnya, maka inilah syirik itu”
Memakai hukum selain hukum Allah adalah syirik akbar…
Bila saja orang yang menuruti atau
meridhai satu hukum yang menyelisihi aturan Allah, telah Allah vonis
musyrik, maka apa gerangan dengan Demokrasi yang seluruhnya adalah bukan
hukum Allah. Kalau memang ada satu macam atau beberapa macam hukum yang
ada dalam Demokrasi itu serupa dengan ajaran Islam, tetap saja itu
tidak disebut hukum Allah dan tidak merubah kekafiran penganut dien
Demokrasi. Andai ada orang Nashrani yang jujur dan amanah, apakah itu
bisa menyebabkan dia itu disebut muslim karena jujur dan amanah itu
ajaran Islam? Sama sekali tidak, karena jujur dan amanahnya itu bukan
atas dorongan tauhid, tapi kepentingan lain, maka begitu juga dengan
Demokrasi.
Oleh sebab itu para ulama tetap ijma atas
kafirnya orang yang menerapkan kitab Undang-undang hukum Tartar
(Yasiq/Ilyasa) yang dibuat oleh Jengis Khan, padahal sebagiannya diambil
dari Syari’at Islam.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Siapa
yang meninggalkan syari’at paten yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu
Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang
lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka
dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan ijma’ kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).
Ibnu Katsir rahimahullah juga
berkata tentang Yasiq/Ilyasa: “Ia adalah kitab undang-undang hukum yang
dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber; dari Yahudi,
Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya banyak
hukum yang dia ambil dari sekedar pandangannya dan keinginannya, lalu
(kitab) itu bagi keturunannya menjadi aturan yang diikuti yang lebih
mereka kedepankan dari pada al hukmu bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu‘alaihi wa sallam.
Siapa yang melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali kepada
hukum Allah dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum
dalam hal sedikit atau banyak”.
Ini dikarenakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…” (QS. Al Maidah [5]: 49)
Dalam ayat itu, Allah mengatakan “menurut apa yang diturunkan Allah”, dan tidak mengatakan “menurut seperti apa yang diturunkan Allah”.
Dalam ajaran demokrasi hukum yang berlaku adalah hukum jahiliyyah:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…” (QS. Al Maidah [5]: 50)
Dalam ajaran tauhid, orang tidak
dikatakan muslim, kecuali dengan kufur kepada thaghut yang di antaranya
berbentuk undang-undang buatan manusia, sedangkan demokrasi mengajak
orang-orang untuk beriman kepada thaghut, padahal Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu…” (QS. An Nisa [4]: 60)
Lihatlah realita para demokrat serta para pendukungnya justeru adalah sebagaimana yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala firmankan:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Apabila dikatakan kepada mereka:
“Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada
hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi
(manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu”. (QS. An Nisa [4]: 61)
Jika ada yang serupa dengan
ajaran Islam dalam hukum mereka itu, tidak lebih dari apa yang tidak
bertentangan dengan selera dan kepentingan mereka, dan itu setelah
proses tarik menarik dan diskusi panjang antara mengiakan dengan tidak,
tak ubahnya dengan orang-orang yang Allah firmankan:
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (٤٨) وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (٤٩) أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan apabila mereka dipanggil kepada
Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka,
tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika
keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul
dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati
mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena)
takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka?
Sebenarnya, mereka Itulah orang-orang yang zhalim”. (QS. An Nur [24]: 48-50)
Apakah anda masih meragukan bahwa Demokrasi itu dien kufriy…?
Apakah Islam atau Ad Dimoqrathiyyah…?
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka apakah mereka
mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah
menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka
maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”. (QS. Ali Imran [3]: 83)
3. Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
Demokrasi adalah dien yang melindungi
semua agama, mengakui serta menjamin kebebasannya. Orang Nashrani bila
mau masuk Islam maka Demokrasi mempersilahkan dan mengakuinya, dan
begitu juga orang Islam jika ingin masuk Nashrani atau agama lainnya,
maka dien Demokrasi tidak mempersalahkannya apalagi memberikan sanksi
terhadapnya.
Dari itu berarti dien Demokrasi
telah menghalalkan pintu-pintu kemurtadan serta menggugurkan hukum-hukum
yang berkaitan dengannya, padahal Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah”.
Andai seorang muslim karena ghirahnya
sangat tinggi lalu dia membunuh orang murtad, maka tentulah dia
mendapat hukuman. Begitu juga dien demokrasi memberikan kebebasan untuk
mengeluarkan fikiran dan pendapat, walaupun fikiran dan pendapat itu
adalah kekufuran.
Jadi Demokrasi membuka pintu kekufuran
dari berbagai sisi. Dari sinilah rahasia kenapa sanksi-sanksi yang
bersifat keagamaan ditiadakan dan tidak diberlakukan, karena itu
bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan.
Saat seorang bapak meninggal dunia dan si anak telah murtad, maka hukum demokrasi masih menetapkan warisan baginya.
Saat si suami murtad, sedangkan isteri masih muslimah… namun dien Demokrasi tidak mengharuskan pisah (fasakh) di antara keduanya.
Allah dan Rasul-Nya
dibiarkan dihina siang dan malam, dan ajaran Islam dicemoohkan
dan dilecehkan dengan dalih kebebasan mengeluarkan fikiran dan pendapat.
Memang Demokrasi itu memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi
semua faham dan aliran kecuali Tauhid, karena seandainya ada muwahhid yang
mencela dan menghina atau berupaya membunuh thaghut mereka, tentulah
dia dikenakan pasal hukuman, padahal itu ajaran Tauhid.
Begitulah kebebasan yang dimaksud oleh
dien Demokrasi… Kebebasan kufur, syirik, ilhad, zandaqah, dan riddah…
bukan kebebasan Tauhid…!
4. Kebenaran adalah suara terbanyak
Hal yang tidak bisa dipungkiri lagi
adalah bahwa dien Demokrasi memiliki ajaran bahwa al haq itu bersama
suara rakyat atau mayoritasnya. Adapun yang diinginkan oleh mayoritas,
maka itu adalah kebenaran yang harus diterima dan diamalkan meskipun
jelas-jelas bertentangan dengan Tauhid.
Oleh karena itu setiap partai politik
yang ingin menguasai Parlemen dan Pemerintahan pasti dia mencari
dukungan sebanyak-banyaknya dari rakyat, kemudian setelah itu mereka
bisa menerapkan putusan apa saja meskipun melanggar aturan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam, asal tidak melenceng dari Tuhan mereka tertinggi yang padahal mereka sendiri yang membuatnya, yaitu Undang Undang Dasar.
Padahal kebenaran itu hanyalah bersumber dari Allah, baik mayoritas menyukainya atau tidak. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Ali Imran [3]: 60)
Juga firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Al Baqarah [2]: 147)
Dikarenakan kebenaran adalah datang dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala melalui
lisan Rasul-Nya, maka bila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu putusan
atau hukum, tidak boleh manusia mempertimbangkan antara menerima atau
tidak serta tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan tunduk
kepadanya.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab [33]: 36)
Dan firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:
مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
“sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” (QS. Al Qashash [28]: 68)
Para ahli tafsir menyatakan bahwa bila
Allah telah menentukan sesuatu, maka manusia tidak dapat memilih yang
lain lagi dan harus mentaati dan menerima apa yang telah ditetapkan
Allah.
Namun agama Demokrasi mengatakan lain,
rakyat bebas memilih apa yang mereka inginkan dan mereka memiliki
pilihan. Tapi bila rakyat (wakil-wakil mereka tentunya) atau
mayoritasnya menentukan sesuatu, maka tidak ada pilihan lagi kecuali
mengikutinya, karena Tuhan yang berhak menetapkan ketentuan dalam ajaran
Demokrasi adalah para wakil rakyat itu, bukannya Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.
Bila dien Demokrasi memiliki tolak ukur kebenaran itu berdasarkan pada suara aghlabiyyah (mayoritas), sehingga apapun yang disuarakan oleh mereka, maka itulah kebenaran yang mesti diikuti, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menghati-hatikan dari mengikuti keinginan mayoritas manusia…
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. Al An’am [6]: 116)
Ini dikarenakan mayoritas (manusia) musyrik…
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah”. (QS. Yusuf [12]: 106)
Mayoritasnya tidak beriman…
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya”. (QS. Yusuf [12]: 103)
Mayoritasnya benci akan kebenaran…
وَأَكْثَرُهُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ
“…dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu”. (QS. Al Mukminun [23]: 70)
Mayoritasnya tidak mengetahui kebenaran…
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Al Jaatsiyah [45]: 26)
Mayoritasnya tidak memahami kebenaran…
بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ
“…tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. (QS. Al Ankabut [29]: 63)
Mayoritas mereka itu kaum yang tidak beriman…
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يُؤْمِنُونَ
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 59)
Mayoritas mereka itu tidak bersyukur…
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَشْكُرُونَ
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 61)
Itulah sifat-sifat orang yang dijadikan
Tuhan (arbaab) dalam agama Demokrasi; musyrik, kafir, sesat, bodoh,
kurang akal, benci terhadap kebenaran, tidak mau bersyukur lagi
menyesatkan.
Orang yang ridha dan beribadah kepada tuhan-tuhan itu, maka ia lebih sesat dan lebih bodoh dari kerbau piaraannya…!
أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
“…mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi…” (QS. Al A’raf [7]: 179)
Enyahlah kalian dan apa yang kalian ibadati selain Allah… maka apakah kamu tidak berakal…??!
5. Tuhannya banyak dan beraneka ragam
Sudah dijelaskan di awal pembahasan ini bahwa hukum adalah hak khusus Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan
ia adalah ibadah, bila ia disandarkan kepada selain Allah maka itu
adalah syirik, dan yang menerima penyandarannya itu adalah Tuhan
(arbaab) selain Allah.
Sudah diketahui bahwa rakyat
(wakil-wakilnya) adalah pemegang kewenangan hukum, itu dalam dien
Demokrasi, sedangkan wakil-wakil rakyat itu jumlahnya sangat banyak,
berarti tuhan-tuhan mereka itu beraneka ragam. Ada tuhan yang katanya
mengaku Islam, ada yang Nashrani, ada yang dari Budha, Hindu, Dukun,
Paranormal, Tentara, Polisi, dan lain sebagainya.
Sedangkan Tauhid mengajarkan bahwa sumber yang berwenang menentukan hukum hanyalah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui…
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“…manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf [12]: 39)
Di dalam Al Qur’an, para pembuat hukum
itu diberi beberapa nama oleh Allah: Arbaab, thaghut, syuraka,
auliaa-usy syaithan (wali-wali syaitan). Dia Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab (Tuhan)
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam,
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan”. (QS. At Taubah [9]: 31)
Dalam ayat ini Allah menamakan
orang-orang alim dan para rahib Yahudi dan Nashrani sebagai ARBAAB, saat
ayat ini dibacakan oleh Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallam di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim ~saat itu asalnya Nashrani kemudian masuk Islam~, maka dia langsung mengatakan: “Kami tidak pernah sujud dan shalat kepada mereka…”, maka Rasulullah menjelaskan makna “mereka menjadikan para rahib dan alim itu sebagai Arbab”: “Bukankah
mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian ikut
menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah
halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”,maka ‘Adiy menjawab: “Ya, benar”. Dan Rasulullah berkata: “Itulah bentuk ibadah kepada mereka”. (Atsar ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah).
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Bab: Orang
yang mentaati ulama dan penguasa dalam mengharamkan apa yang Allah
haramkan atau (dalam) menghalalkan apa yang Allah haramkan: “maka ia telah menjadikan mereka sebagai Arbaab selain Allah”. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka
hendak berhakim kepada thaghut…” (QS. An Nisa [4]: 60)
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang beberapa tokoh thaghut: “Penguasa yang zhalim yang merubah ketentuan-ketentuan Allah”, terus beliau tuturkan ayat di atas.
Mujahid rahimahullah berkata: “Thaghut
adalah syaitan berwujud manusia yang mana orang-orang berhakim
kepadanya sedang dia adalah pemegang kendali mereka”
Dan dalam catatan kaki Terjemahan Mushhaf Departemen Agama RI: “Termasuk
thaghut juga adalah; orang yang menerapkan hukum secara curang menurut
hawa nafsu”. Maka ketahuilah… sesungguhnya selain aturan Allah adalah
curang lagi bersumber dari hawa nafsu…!!! Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai syurakaa
(sembahan-sembahan) selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien
(aturan) yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syuura [42]: 21)
Anda harus ingat dalam memahami ayat ini dan yang lainnya bahwa hukum atau aturan atau undang-undang adalah dien.
Kemudian tentang penamaan para pembuat hukum selain Allah sebagai wali-wali syaitan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang upaya kaum musyrikin yang mendebat kaum muslimin supaya setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dia berfirman:
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“…Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada wali-wali mereka agar membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu adalah benar-benar musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Bisikan syaitan kepada mereka adalah
ucapan yang mereka lontarkan kepada kaum muslimin: “Kalian makan apa
yang kalian bunuh (maksudnya sembelihan) dan tidak makan apa yang
dibunuh Allah (maksudnya bangkai)”.
Jadi para pembuat hukum dan undang-undang
itu adalah wali-wali syaitan, dan sedangkan undang-undang dan hukumnya
itu adalah syari’at syaitan.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawanin wadl’iyyah (undang-undang) yang disyari’atkan oleh syaitan lewat lisan wali-walinya…”
Jadi, Demokrasi adalah ajaran syaitan, sedangkan para penganutnya adalah para penyembah syaitan…
6. Persamaan Hak
Di dalam ajaran Demokrasi, semua rakyat
dengan berbagai macam agama dan keyakinannya adalah sama, tidak ada
perbedaan antara muslim dengan kafir, juga antara orang yang taat dengan
yang fasiq. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala membedakan di antara mereka:
قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu…” (QS. Al Maidah [5]: 100)
Orang kafir adalah yang buruk sedangkan orang muslim adalah yang baik…
لا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ
“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah…” (QS. Al Hasyr [59]: 20)
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasiq?” (QS. As Sajdah [32]: 18)
Dan ayat-ayat lainnya…
Dengan risalah ini kami bermaksud untuk
menggugah anda agar mengetahui bahwa Demokrasi itu adalah agama kafir
lagi syirik, sedang para pengusungnya serta para penganutnya adalah kaum
musyrikin walaupun mereka menyatakan bahwa dirinya muslim, shalat,
zakat, shaum, haji dan yang lainnya.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad, keluarga, dan para shahabat. Wal hamdu lillaahi rabbil ‘alamin…
0 komentar:
Posting Komentar