بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Segala puji hanya milik Allah, shalawat
dan salam semoga Allah limpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga, dan
sahabatnya seluruhnya. Wa ba’du :
Apa yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
yaitu menafikan atau meniadakan empat hal, maksudnya orang yang
mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dikatakan memegang Laa ilaaha
illallaah: dikatakan muslim, mukmin apabila dia meninggalkan atau
menjauhi, atau berlepas diri dari empat hal, yaitu :
- Alihah (Sembahan-sembahan)
- Arbaab (tuhan-tuhan pengatur)
- Andaad (tandingan-tandingan)
- Thaghut
Jadi Laa ilaaha illallaah menuntut kita
untuk berlepas diri, menjauhi, meninggalkan empat hal tadi dan insya
Allah kita akan membahas satu demi satu dari keempat hal tersebut…
1. Alihah
Alihah adalah jamak daripada ilaah, yang artinya tuhan. Jadi Laa ilaaha illallaah ketika kita mengucapkannya: tidak ada ilaah,
tidak ada tuhan yang diibadati kecuali Allah, berarti menuntut dari
kita untuk meninggalkan ilah-ilah selain Allah (tuhan-tuhan selain
Allah) dan yang penting bagi kita di sini adalah memahami apa makna ilaah.
Karena kalau kita melihat realita orang yang melakukan kemusyrikan pada
jaman sekarang, mereka tidak menamakan apa yang mereka ibadati selain
Allah itu sebagai ilah (sebagai tuhan) akan tetapi dengan nama-nama yang
lain. Dan kalau kita memahami makna ilah, maka kita akan mengetahui
bahwa apa yang dilakukan oleh si fulan atau masyarakat fulani itu adalah
mempertuhankan selain Allah.
Ilaah, definisinya adalah: Apa yang engkau tuju dengan sesuatu hal dalam rangka mencari manfaat atau menolak bala (bencana).
Kalimat “dengan sesuatu hal” adalah suatu tindakan atau suatu perbuatan. Dengan contoh:
Contoh 1:
Batu besar (ini adalah sesuatu), lalu
orang datang menuju ke batu besar tersebut dengan sesajian, bisa
berbentuk cerutu, kopi pahit, atau rujak-rujakan, atau apa saja, ataupun
bekakak ayam. Batu ini adalah sesuatu yang dituju oleh orang tersebut
dengan suatu hal tadi (sesajian, cerutu, dll) pasti ada maksudnya,
karena tidak mungkin seseorang menyimpan sesajian-sesajian pada batu
besar tersebut dengan tujuan agar dimakan semut. Tidak… bukan itu
maksudnya, akan tetapi maksudnya adalah sebagai bentuk mencari manfaat
atau tolak bala.Adayang minta dijauhkan dari bala (bencana), karena
menurut keyakinannya bahwa pada batu besar itu ada yang menunggunya.
Ketika orang tadi melakukan tindakan pada
batu besar itu dengan persembahan-persembahan tadi dalam rangka tolak
bala atau minta manfaat, berarti batu besar ini adalah ilaah
yang dipertuhankan selain Allah, sehingga pengucapan Laa ilaaha
illallaah itu adalah tidak benar… bohong !, dengan kata lain orang
tersebut belum muslim meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji, dan
lainnya.
Contoh 2:
Pohon besar, dituju oleh seseorang atau
masyarakat dengan sesuatu hal tadi (sesajian-sesajian). Pasti ada
maksudnya, kalau bukan tolak bala berarti meminta manfaat.
Berarti disini pohon besar itu adalah
dipertuhankan selain Allah dengan kata lain bahwa orang yang
melakukannya itu telah melanggar Laa ilaaha illallaah atau dia belum
muslim, karena seharusnya dia meninggalkan hal itu.
Contoh 3:
Dewi Nyi Roro Kidul… biasanya orang
pantai selatan, mereka datang ke pantai tersebut menuju Nyi Roro Kidul
dengan suatu hal seperti “Pesta Laut”, dengan cara melemparkan
makanan-makanan ke laut untuk persembahan ke Dewi Nyi Roro Kidul, kata
mereka ada maksudnya… apa? yaitu tolak bala atau cari manfaat.
Disini berarti Nyi Roro Kidul itu adalah
ilaah, yang telah dipertuhankan selain Allah. Mereka yang melakukan
pesta laut itu adalah orang-orang musyrik ! bukan orang-orang muslim.
Contoh 4:
Di sebagian masyarakat ada yang
berkeyakinan bahwa Dewi Sri itu adalah Dewi Padi. Petani datang ke sawah
dengan membawa kelapa muda atau rujak-rujakkan atau terkadang tumpeng,
lalu disimpan di pematang sawah. Buat siapa…? Kata mereka buat Dewi Sri.
Dewi Sri adalah sesuatu yang dituju oleh
orang atau oleh petani tersebut dengan suatu hal tadi
(sesajian-sesajian) apa maksudnya…? Kalau bukan tolak bala berarti
meminta manfaat agar panennya berhasil atau supaya tidak adahama, dst.
Berarti Dewi Sri ini telah dipertuhankan selain Allah, dan berarti
orang-orang tersebut telah melanggar Laa ilaaha illallaah, dengan kata
lain belum muslim.
Contoh 5:
Orang mau membuat rumah, di mana kata
masyarakat bahwa di daerah yang akan dibangun rumah itu terdapat jin
penunggunya. Ketika membuat rumah, maka orang tersebut menuju sesuatu
itu (jin) dengan sesuatu hal berupa tumbal (seperti : memotong ayam lalu
dikubur sebelum dibuat pondasi rumah) dalam rangka supaya tidak digangu
oleh jin tersebut.
Berarti jin ini adalah sesuatu yang
dituju oleh pemilik rumah dengan sesuatu (tumbal) dalam rangka tolak
bala. Dan berarti jin ini telah dipertuhankan selain Allah, dan orang
yang melakukan perbuatan tersebut adalah orang musyrik…! Bukan muslim,
meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya.
Contoh 6:
Kuburan, baik itu kuburan Nabi atau
kuburan wali atau kuburan siapa saja. Orang menamakan kuburan tersebut
adalah kuburan keramat sehingga orang datang ke kuburan tersebut.
Kuburan adalah sesuatu, kemudian dituju
oleh orang tersebut dengan sesuatu., ada yang minta ke penghuni kubur
tersebut jodoh, bahkan ada yang minta do’anya (sedang meminta do’a
kepada yang sudah meninggal adalah tidak dibolehkan), berarti kuburan
ini adalah sesatu yang dituju oleh orang tadi dalam rangka meminta
manfaat, minta jodoh, minta rizqi, atau minta do’a, ada juga yang minta
agar dijauhkan dari bala. Berarti kuburan tersebut telah dipertuhankan
selain Allah, dan orang-orangnya adalah orang-orang musyrik…
Mereka beralasan bahwa bahwa kami ini
adalah orang kotor, sedangkan wali ini adalah orang suci, bersih, dan
dekat dengan Allah, sedangkan Allah itu Maha Suci, jika kami orang kotor
lalu minta langsung kepada Allah maka kami malu, sebagaimana kalau
minta suatu kebutuhan pada penguasa kita tidak langsug datang ke
penguasa tersebut, akan tetapi melalui orang dekatnya… jadi dia
menyamakan Allah dengan makhluk. Perbuatan tersebut adalah penyekutuan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berarti orangnya adalah orang
musyrik dan orang tersebut telah mempertuhankan selain Allah, walaupun
dia tidak mengatakan bahwa dirinya telah mempertuhankan selain Allah.
Walaupun batu besar, pohon besar, atau kuburan keramat itu tidak disebut tuhan, akan tetapi hakikat
perbuatan mereka itu adalah mempertuhankan selain Allah. Maka
orang-orang yang melakukan hal itu adalah bukan orang-orang muslim. Dan
kalau kita hubungkan dengan realita, ternyata yang melakukan hal itu
umumnya adalah orang yang mengaku muslim. Mereka itu sebenarnya bukan
muslim tapi masih musyrik.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
mengatakan tentang orang-orang kafir Arab, karena di antara kebiasan
mereka adalah menjadikan Latta sebagai perantara, mereka memohon kepada
Latta ~yang dahulunya orang shalih~ untuk menyampaikan permohonan mereka
kepada Allah. Ketika mereka diajak untuk mengatakan dan komitmen dengan
Laa ilaaha illallaah maka mereka menolaknya, Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (٣٥) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila
dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak
disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata:
“Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?” (QS. As Shaffat [37] : 35-36)
Dalam ayat ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam digelari “penyair gila”, padahal sebelumnya mereka menyebutnya “Al Amin”
(yaitu orang jujur lagi terpercaya), mereka memahami bahwa apabila
komitmen dengan Laa ilaaha illallaah konsekuensinya adalah meninggalkan
ilah-ilah tadi (batu-batu keramat, pohon-pohon keramat, kuburan keramat,
dst), sedangkan mereka itu tidak mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan
tersebut.
Juga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menawarkan kepada mereka, beliau mengatakan: “Maukah kalian berikan kepada saya satu kalimat yang dengannya kalian akan mampu mendudukan orang-orang Arab dan ‘Ajam ?”, Abu Jahhal mengatakan: “Senang sekali, saya akan memberikannya… bahkan 10x lipat dari kalimat yang kamu minta itu”, kemudian Rasulullah mengatakan: “Katakan; Laa ilaaha illallaah”. Lalu mereka bangkit dan pergi sambil mengatakan: “Apakah kami harus menjadikan ilaah-ilaah itu hanya menjadi satu saja?, ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan !” (sebagiannya diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Al Hakim).
Mereka paham akan Laa ilaaha illallaah,
karena tidak sulit dan mereka tidak perlu diajarkan artinya, tidak
seperti di kita. Sedangkan di antara makna adalah itu bahwa mereka harus
meninggalkan alihah selain Allah, sehingga karenanya mereka
menolak. Jadi, mereka enggan meninggalkannya, berbeda dengan orang
sekarang ; mengucapkan mau… bahkan ratusan kali, ribuan kali akan tetapi
perbuatannya bertentangan dengan kandungan daripada Laa ilaaha
illallaah.Ini adalah yang pertama, alihah : sesuatu yang engkau tuju
dengan suatu hal dalam rangka tolak bala atau meminta manfaat.
Mudah-mudahan yang pertama ini jelas…
2. Arbaab (tuhan-tuhan)
Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk meninggalkan arbaab, berlepas diri daripada Arbaab.
Apa Arbab…?? Ia adalah bentuk jamak
daripada Rabb, yang artinya tuhan pengatur atau yang mengatur, berarti
kalau kata-kata “atur” maka berhubungan dengan aturan, seperti
hukum/undang-undang. Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang
menentukan hukum.
Kita sebagai makhluk Allah, dan
konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah yang mana Dia juga
telah memberikan sarana kepada kita, maka yang berhak menentukan adalah…
hanya Allah. Jadi Allah disebut Rabbul ‘Alamin karena Allah yang
mengatur alam raya ini, baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy
(syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa
dia berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai rabb.
Apa rabb itu…? Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mendefinisikan rabb
itu adalah: “Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang
menyelisihi kebenaran, dan kamu mengikutinya seraya membenarkan”.
Ketika orang mengikuti apa yang
bertentangan dengan hukum Allah maka dia disebut mempertuhankan,
sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui bahwa hal itu
pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga
mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya
disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)
Pada ayat ini Allah memvonis orang Nashara dengan lima vonis :
- Orang-orang nashara tersebut telah mempertuhankan para alim ulama dan pendeta mereka .
- Mereka telah beribadaha kepada selain Allah
- Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
- Mereka musyrik
- Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan dirinya sebagai Arbab… sebagai Tuhan.
Ketika ayat ini dibacakan di hadapan
shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim, (asalnya beliau ini Nashrani) sedang beliau
datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Dan ketika mendengar
ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan:
Kami (maksudnya : dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat,
sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa
Allah memvonis kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah dst.
Jadi dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu
adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka
tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah
kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya kemusyrikan apa yang dilakukan dan
bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama
?, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Bukankah
alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah
haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya ?, bukankan mereka
mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga
mengharamkannya ?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya !”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orangt nashrani) terhadap mereka”
Jadi, ketika alim ulama memposisikan
dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk
membuat hukum (sekarang: undang-undang) maka dia mengkalim bahwa dirinya
sebagai tuhan… sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau
menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya
sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si
pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik…!
Di dalam contoh ayat yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)
Ayat ini berkenaan tentang masalah
bangkai, dan kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram. Dan dalam
ajaran orang-orang kafir Quraisy bahwa bangkai adalah sembelihan Allah,
dan dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad
yang shahih: “Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya ?”, beliau menjawab: “Allah yang mematikannya”, lalu mereka berkata: “Kambing
yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing yang
disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas
(maksudnya bangkai) kalian katakan haram ! berarti sembelihan kalian
lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ucapan ini adalah bisikan atau wahyu
syaitan kepada mereka dan ketahuilah: “Jika kalian mentaati mereka (ikut
setuju dengan hukum dan aturan mereka yang bertentangan dengan hukum
dan aturan Allah) maka kalian ini orang-orang musyrik”.
Dalam hal ini ketika orang mengikuti
hukum yang bertentangan dengan aturan hukum Allah disebut musyrik,
padahal hanya dalam satu hal saja, yaitu penghalalan bangkai. Sedangkan
orang yang membuat hukumnya disebut syaitan, dan hukum tersebut pada
dasarnya adalah wahyu syaitan atau bisikan syaitan, kemudian digulirkan
oleh wali-wali syaitan dari kalangan manusia, dan orang yang mengikuti
hukum-hukum tersebut disebut sebagai orang musyrik…!
Agar lebih kuat lagi, mari kita lihat firman Allah yang lainnya:
إنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“…Menentukan hukum itu hanyalah
kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menjelaskan bahwa hak menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak
membuat hukum, aturan, undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah
memerintahkan agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah.
Dalam ayat ini penyandaran hukum disebut
ibadah. Jika disandarkannya kepada Allah berarti ibadah kepada Allah,
sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah berarti ibadah kepada
selain Allah, itulah dien yang lurus… ajaran yang lurus, akan tetapi
mayoritas manusia tidak mengetahui.
Jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menjelaskan bahwa hak menetapkan hukum, aturan, undang-undang hanya di
Tangan Allah, ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu artinya
memalingkan ibadah kepada selain Allah, dengan kata lain adalah syirik
dan orangnya disebut musyrik.
Makanya tidak aneh, ketika hal itu
dipalingkan kepada alim ulama dan pendeta disebut musyrik, ibadah kepada
selain Allah dan mempertuhankan alim ulama. Jadi, dalam satu hal saja
orang yang mengikutinya itu disebut musyrik.
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“…dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)
Sekarang… kita hubungkan dengan realita:
Kan ada sistem demokrasi… Yang namanya orang berpendidikan pasti
mengetahui apa demokrasi, yaitu dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat. Jadi, dalam demokrasi yang berdaulat, yang berhak menentukan
hukum itu adalah rakyat. Apa yang diinginkan rakyat atau mayoritasnya
itu adalah kebenaran yang wajib diikuti, dan memang dalam sistem
demokrasi seperti itu !
Sistem demokrasi mulai populer ketika
Revolusi Prancis, (walau ide-ide dasarnya sudah muncul jauh sebelu itu,
ed) di mana hal itu dilakukan agar terlepas dari kungkungan gereja yang
mengekang mereka karena kekuasaan kaisar-kaisar pada saat itu, dengan
kedzaliman yang mereka lakukan, kediktatoran otoriter di atas nama tafwidl ilahiy
(atas nama kewenangan Tuhan) maka terjadilah revolusi yang ingin
melepaskan diri dari kekuasaan Tuhan yang diberikan kepada rakyat yang
mana demokrasi ini dibangun di atas beberapa pilar :
- Kebebasan keyakinan, dengan nama lain kebebasan meyakini apa saja.
- Kebebasan mengeluarkan pendapat
- Hukum berada di tangan rakyat
- Melepas norma akhlak dari agama
Dalam masalah ini kita secara khusus
mengambil masalah “hukum berada ditangan rakyat”, di mana yang berhak
memutuskan hukum aturan/undang-undang dalam sistem itu adalah rakyat,
yang mana dalam sistem demokrasi perwakilan diwakilkan melalui pemilu (intikhab).
Mari kita perhaikan bahwa dalam praktek
demokrasi, yang berhak memutuskan hukum itu rakyat, setiap
individiu-individu rakyat memiliki kewenangan mambuat hukum dengan kata
lain, bahwa rakyat itu memiliki sifat ketuhanan yaitu pembuatan hukum,
akan tetapi kalau rakyat yang berjumlahnya berjuta-juta ini kumpul
semuanya adalah tidak mungkin, maka diwakilkan hak ketuhanannya itu
lewat pemilu dan ketika “nyoblos” itu pada dasarnya mewakilkan hak
ketuhanannya kepada wakilnya yang nantinya akan dipajang di gedung
Parlemen. Dan nantinya akan membuat hukum atas nama rakyat. Hal ini bisa
dilihat ketika pada saat sidang-sidang thaghut itu di mana mereka
mengatasnamakan rakyat, karena mereka adalah perwakilan rakyat… aspirasi
rakyat. Jadi, dalam sistem demokrasi ini bahwa yang berwenang atau
menentukan hukum dan undang-undang adalah rakyat.
Jika dalam surat Al An’am 121 yang mana
satu hukum saja dipalingkan kepada selain Allah dihukumi syirik dan yang
membuatnya di sebut wali syaitan (Arbaab). Maka apa gerangan dengan
sistem demokrasi ini, yang mana bukan hanya satu hukum, akan tetapi
seluruh hukum dipalingkan dari Allah kepada makhluk (rakyat)…?? Maka
dari itu dalam Undang Undang Dasar dalam Bab 1 (1) ayat 2 dikatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat”.
Jika dahulu sebelum diamandemen dilaksanakan sepenuhnya oleh majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sekarang adalah dilaksanakan menurut
Undang Undang Dasar. Jadi, kedaulatan atau hak hukum itu berada di
tangan rakyat, atau dengan lain kata bahwa demokrasi itu merampas sifat ketuhanan
dari Allah dan diberikan kepada rakyat yang nantinya akan terwujud
dalam wakil-wakil rakyat yang ada di gedung Parlemen (MPR/DPR atau yang
lainnya).
Jika sekarang kita ingin mengetahui siapa
itu arbaab… para pengaku tuhan di NKRI (Negara Kafir Republik
Indonesia) ini, maka tinggal membaca kitab Undang Undang Dasar 1945 dan
di dalamnya akan didapatkan: “Bahwa setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU)”,
atau akan didapatkan juga pasal: Bahwa “Presiden berhak mengajukan
Rancangan Undang Undang…” dst. Dan juga yang berkaitan dengan otonomi
daerah: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan setempat
diberikan kewenangan membuat undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah”. Dan itu semua adalah Arbaab-Arbaab yang ada di
Indonesia… sekali lagi, jika ingin mengetahui siapa Arbab atau para
pengaku tuhan, maka pahamilah tauhid lalu baca Undang Undang Dasar 1945,
maka akan diketahui bahwa mereka adalah para pengaku tuhan.
Jadi demokrasi ini adalah sistem syirik sedangkan hukum yang muncul dari bingkai demokrasi dalam bentuk apapun itu adalah syari’at demokrasi… syari’at syirik walaupun ~umpamanya~ hukum potong tangan
muncul dalam bingkai demokrasi, maka hakikatnya adalah bukan hukum
Allah akan tetapi tetap hukum demokrasi, karena munculnya bukan dari
Allah, tapi dari sang pembuat hukum yang di akui dalam sistem demokrasi,
yaitu rakyat (wakil rakyat) sehingga bukan ayat Al Qur’an lagi yang
tertera, akan tetapi :Tap MPR no sekian… atau perpu no sekian… seperti
itulah yang ada.
Dan ketika membuatnya: mereka
(partai-partai Islam) mengambil dari Al Qur’an tentang potong tangan,
dengan kata lain proposal diambil dari Al Qur’an (dari Allah) kemudian
disodorkan kepada tuhan-tuhan “besar” yang ada di gedung MPR/DPR…
disodorkan kepada Arbaab-Arbaab itu, setelah itu akan terjadi tarik
ulur… Jadi, hukum Allah disodorkan kepada mereka ~karena yang namanya
proposal itu muncul berawal dari bawah lalu disodorkan ke atas~ dan
ketika berada di atas (MPR/DPR) setujui atau tidak. Jika tidak setuju
maka jelaslah kekafirannya, dan ketika setuju juga jelas kekafirannya,
karena hal itu menunjukan bahwa Allah itu tidak diakui sebagai Rabb
pengatur, akan tetapi merekalah yang berhak mengatur sehingga hukum
Allah membutuhkan persetujuan Arbab…! Dan ketika digulirkan tidak
mungkin nantinya sesuai dengan firman Allah surat sekian atau ayat
sekian… akan tetapi jika yang mengeluarkannya Pemerintah, maka yang
keluar adalah perpu no sekian, perda no sekian, jika MPR yang
menggulirkannya maka yang yang keluar adalah TAP MPR No sekian,
begitulah keadaannya…!!
Jadi semua itu adalah hukum Arbab.
Arbabnya banyak… ada Arbab dari partai PKS, PBB, PPP, PKB, PAN, PDI,
Golkar…dst, mereka itu adalah Arbaab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (٣٩) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Hai kedua penghuni penjara, manakah
yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha
Esa lagi Maha Perkasa ? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali
hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang
nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf [12] : 39-40)
Ayat: “Tuhan-tuhan yang bermacam itu…”
maksudnya adalah tuhan-tuhan pengatur atau pembuat hukum yang beraneka
ragam, yang banyak dari berbagai golongan, fraksi, utusan daerah,
komisi-komisi, dll.. Dan ayat: “yang kalian ibadati” maksudnya di sini adalah mengikuti hukum. “nama-nama yang kalian ciptakan”
maksudnya adalah seperti apa yang diibadati oleh para anshar thaghut
zaman sekarang berupa Undang Undang Dasar, mereka menciptakannya dan
mereka mengibadatinya. Perpu-perpu juga mereka yang membuatnya, KUHP
juga mereka yang membuatnya… semua itu adalah nama-nama yang mereka
ciptakan sendiri, kitab hukum yang mereka membuatnya sendiri lalu mereka
yang mengibadatinya (mengikutinya).
Jadi, membuat hukum itu adalah sebagai bentuk membuat tuhan yang akan mereka ibadati. Dan Arbab-Arbab itu adalah pengaku tuhan.
Supaya lebih dipahami, saya gambarkan…
mungkin kita sering mendengar orang memperolok-olokkan Arab Quraisy
ketika membuat tuhan dari roti, tuhan yang terbuat dari adonan yang
kemudian diibadati, dan ketika lapar maka tuhan-tuhan itu dimakan,
mereka yang memperolok-olok itu mengatakan “Oh… bodoh sekali orang-orang
Arab itu, Jahiliyyah banget…!”, padahal semua itu adalah realita yang
nyata zaman sekarang. Jika kita sudah paham bahwa Arbaab (mereka para
pengaku tuhan) adalah tuhan jadi-jadian dan hukum yang diibadati itu
juga tuhan (tuhan yang diibadati bukan dengan shalat atau do’a, tapi
dengan taat, patuh, dan loyalitas), maka kita akan mendengar bahasa
mereka “menggodok undang-undang”, seperti fraksi anu… menggodok
undang-undang buruh (umpamanya), fraksi lain menggodok undang-undang
tentang perbankan, fraksi yang lain tentang pendidikan, fraksi yang lain
tentang keamanan…! Mereka menggodok seperti membuat adonan, mereka
menggodok undang-undang dan hukum. Fraksi ini membuat bagian tangannya,
fraksi itu membuat kepalanya, yang lain membuat kakinya atau bagian yang
lainnya sehingga setelah semuanya digodok dan dicetak sampai menjadi
sebuah berhala (seperti berhala dari roti). Ketika hukum dan
undang-undang selesai digodok, kemudian digulirkan (mejadi sebuah
berhala), maka akan dibuatkan TAP MPR No sekian… atau Perpu No sekian…
lalu disosialisasikan ketengah masyarakat atau kepada aparatur thaghut
ini dan kemudian rame-rame diibadati, bukan dengan disembah-sembah
seperti shalat atau sujud, akan tetapi dengan ditaati, dirujuk,
dijadikan acuan hukum. Kita juga melihat dan mendengar apa yang
dikatakan oleh para aparat thaghut ketika menegakkan hukum buatannya itu
bukan “sesuai dengan firman Allah surat anu ayat sekian atau sabda
Rasulullah…”, akan tetapi mereka mengatakan : “Sesuai TAP MPR No sekian,
atau pasal sekian…!”.
Nah… setelah disosialisasikan dan
diibadati ramai-ramai oleh para aparat, polisi, jaksa, hakim, dan yang
lainnya, kemudian ketika ada celah atau hukum tersebut sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka berhala yang sudah jadi itu
dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka yang membuatnya dengan
bahasa mereka “direvisi atau diamandemen”, seperti layaknya tuhan yang
terbuat dari roti. Setelah itu kemudian dibuatkan lagi yang baru…
digodok lagi… dicetak lagi… sehingga menjadi sebuah berhala baru lagi
(hukum dan undang-undang baru), kemudian disembah lagi, dan ketika sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan atau ada celah maka berhala yang
sudah jadi itu di potong-potong dan dimakan lagi oleh mereka, begitu dan
begitu seterusnya…!!!
Jadi, berhalaisme atau paganisme itu
selalu terjadi dan lebih dahsyat dan lebih berbahaya karena apabila
menyembah berhala yang berbentuk patung tidak akan ada yang memaksa,
akan tetapi kalau untuk mentaati hukum thaghut maka akan dipaksakan.
Pada gambaran yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menurunkan kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman, sebagai aturan bagi
orang yang beriman, hal demikian itu adalah sebagi tali yang Allah
ulurkan dari sisin-Nya (dari surga) ke bumi. Barangsiapa yang
memegangnya maka ia akan sampai kepada Allah, sedangkan kitab-kitab
selain Al Qur’an (seperti: KUHP atau kitab hukum dan perundang-undangan
lainnya) adalah pada hakikatnya kitab syaitan yang merupakan tali
syaitan yang di ulurkan dari neraka, di mana barangsiapa yang
memegangnya atau yang mengikutinya, maka akan ditarik oleh syaitan ke
dasar neraka.
Jadi, “kitab-kitab suci” selain Al Qur’an
pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau ucapan syaitan yang dihasilkan
oleh para Arbaab (para pengaku tuhan itu).
Fir’aun mengatakan: “Aku adalah tuhan kalian yang tertinggi”,
apakah ketika dia mengucapkannya dia mengklaim pencipta langit dan
bumi? atau bahwa dialah yang menyediakan isi dan segala apa yang ada di
atasnya?? Tidak…! dia tidak memaksudkan hal itu, karena masyarakat
mengetahui bahwa sebelum Fir’aun lahir pun manusia telah ada,
masyarakatnya pun mengetahui bahwa Fir’aun sendiri terlahir dari
manusia. Akan tetapi ketika dia mengucapkan “Aku adalah tuhan kalian tertinggi”
maksudnya adalah tuhan yang hukumnya harus kalian taati… yang mana
tidak ada hukum yang harus kalian ikuti kecuali hukum buatan saya !
Jadi, ketika Fir’aun mengatakan hal itu
bukan karena dia yang menciptakan manusia atau yang bisa memberikan
manfaat atau madharat atau yang bisa memberi anak, tetapi “Sayalah
pembuat hukum yang hukumnya harus kalian ikuti…!”.
Apabila telah paham apa yang di ucapkan
fir’aun itu, berarti akan kita bisa melihat banyak Fir’aun-Fir’aun zaman
sekarang yang mengatakan bahwa hukumnya harus ditaati ! mereka adalah Fara’inah.Para pembuat hukum itu itulah Fir’aun…
Jadi jika kita membaca tentang Fir’aun
itu, jangan selalu mengidentikan pada Fir’aun zaman Nabi Musa saja,
karena sifat-sifat Fir’aun itu banyak dan Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang
mereka itu lebih dahsyat lagi. Apabila Fir’aun zaman dulu membunuh anak
laki-laki karena takut suatu hari ada yang menyaingi atau membunuh dia
(sesuai dengan mimpinya itu), sedangkan jika anak anak kecil ~yang masih
suci fithrahnya~ dibunuh maka insya Allah masuk surga, sedangkan
Fir’aun zaman sekarang… mereka membunuh fithrah anak-anak kecil dengan didoktrinkan idiolodi-idiologi kafir di sekolahan-sekolahan
milik Fir’aun sehingga fithrahnya mati, bukan jasadnya yang dimatikan,
akan tetapi fithrahnya yang dimatikan, sedangkan apabila waktu kecil
fithrah sudah rusak atau mati sehingga dewasa lalu tidak taubat (tidak
kembali kepada tauhid) dan dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia
akan dijerumuskan ke dalam api neraka… dan ini adalah bahaya !!
Sedangkan apabila anak kecil yang mati jasadnya saja sedang fithrahnya
tidak, maka dia masuk surga. Akan tetapi apabila mereka (Fir’aun-Fir’aun
zaman sekarang) itu tidak mampu membunuh fithrahnya sewaktu masa
anak-anak, maka setelah dewasa baru dibunuh jasadnya atau dimasukan ke
penjara-penjara Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang.
Jadi… itulah Fir’aun yang mana dia
mengatakan “Akulah tuhan kalian tertinggi” adalah bukan dimaksudkan
bahwa dia itu pencipta manusia atau yang menyediakan berbagai sarana
kehidupan buat manusia, akan tetapi dia makasudkan “Sayalah pembuat
hukum bagi kalian yang hukumya harus kalian ikuti…!”
Bila semua ini kita pahami, maka kita akan melihat bahwa pada zaman sekarang banyak sekali yang seperti Fir’aun.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah
ketika menjelaskan surat Al An’am: 121 dan At Taubah : 31, mengatakan :
“Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan
undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syri’atkan lewat lisan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]
Jadi, kesimpulannya bahwa Arbaab adalah
orang yang mengaku bahwa dirinya berhak membuat
hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain Arbab adalah orang-orang
yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum buatan
para Arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada
Arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, do’a, nadzar atau
istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan loyalitas
terhadapnya. Sehingga pada saat Fir’aun mencela Nabi Musa dan Harun, dia
mengatakan:
فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَيْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ
“Dan mereka berkata: “Apakah (patut)
kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum
mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita?” (QS. Al Mukminun [23]: 47)
Maksud “beribadah” di atas
adalah ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada Fir’aun disebut
beribadah kepada Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang yang taat
kepada hukum buatan para Arbaab itu adalah disebut orang yang beribadah
kepada Arbaab tersebut
Dan ini adalah penjelasan tentang Arbaab yang mana ini adalah hal bagian kedua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah…
3. Andad (Tandingan-tandingan)
Andad adalah jamak dari kata nidd, yang artinya tandingan, maksudnya adalah tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah memerintahkan agar kita hanya menghadapkan dan menjadikan-Nya
sebagai tujuan satu-satunya. Tidak boleh seseorang mengedepankan yang
lain terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah berfirman tentang nidd ini atau tentang Andad ini :
فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2]: 22)
Andad itu apa…?
Andad adalah sesuatu yang memalingkan
kamu daripada Al Islam, atau sesuatu yang memalingkan kamu daripada
tauhid, baik itu anak, isteri, jabatan, harta, atau apa saja yang mana
jika hal itu memalingkan seseorang daripada tauhid atau memalingkan
seseorang dari pada Al Islam atau menjerumuskan seseorang kepada
kekafiran atau ke dalam kemusyrikan, maka sesuatu hal itu sudah menjadi
Andad.
Jadi sesuatu yang memalingkan kamu
daripada Al Islam atau tauhid baik itu anak, isteri, suami, posisi
jabatan, harta benda, dst, kalau hal tersebut justeru mamalingkan
seseorang daripada tauhid, berarti sesuatu itu telah dijadikan Andad…
tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Contoh:
Kita bisa melihat dalam realita yang nyata dimasyarakat… mereka
berbondong-bondong menjadi abdi hukum buatan. Kita mengetahui bahwa
dalam sistem Pemerintahan ini atau yang dipakai adalah sistem kafir,
sistem syirik, sistem demokrasi. Perundang-undangnya juga adalah
perundang-undangan thaghut. Undang Undang Dasar atau undang-undang
lainnya yang dibuat oleh manusia adalah kafir. Orang-orangnya… baik itu
pejabat Legislatif, Eksekutif, yudikatif, atau dari kalangan bala
tentaranya seperti aparat POLRI, TNI, atau para pejabatnya atau bahkan
pegawai kecilnya sekalipun (PNS) tidak bisa mereka memegang posisinya
kecuali mereka menyatakan ikrar atau janji setia, kepada apa…?? Kepada
Pancasila dan Undang Undang Dasar dan kepada sistem thaghut ini,
sedangkan kesetiaan terhadap thaghut merupakan kekafiran !
Kita mengetahui bahwa yang mereka
inginkan bukanlah menjadi kafir atau murtad, ~umpamanya~ orang
mendaftarkan diri menjadi Polisi atau jadi Caleg (Calon
Legislatif) yang mana dia tidak bisa meraihnya kecuali kalau mereka
setia kepada sistem thaghut tersebut. Menyatakan ikrar atau janji setia
kepada sistem kafir merupakan kekafiran. Dan yang diinginkan oleh orang
tersebut bukanlah ingin kafir atau ingin murtad dan bukan sebagai
kebencian kepada Islam… akan tetapi dia menginginkan posisi, jabatan,
gaji bulanan, dst. Nah… keinginan-keinginan tersebut yang menyebabkan
orang tersebut meninggalkan tauhid, dengan demikian keinginan tersebut
atau posisi jabatan atau gaji bulanan yang diinginkan tersebut telah
menjadi Andad. Orang tersebut telah meninggalkan tauhidnya karena ia
menjadikan hal-hal tersebut sebagai Andad.
Kita bisa melihatnya ketika orang yang
mau menjadi pegawai di dinas thaghut ini, dia harus bersumpah setia
kepada sistem thaghut ini terlebih dahulu. Mungkin ketika seseorang
telah mengenal Tauhid dia pasti akan benci dengan sistem ini, atau benci
dengan undang-undang ini, benci dengan falsafah yang syirik ini. Akan
tetapi yang diinginkan bukan itu, melainkan gaji bulanan atau
fasilitas-fasilitas. Dan dikarenakan harus setia kepada kekafiran
~sedang hal demikian itu adalah kekafiran~ maka perbuatan tersebut telah
menjadikan orang tersebut terjerumus ke dalam kekafiran, orang tersebut
telah menjadikan keinginan-keinginannya sebagai Andad yang
memalingkannya daripada tauhid…!
Jadi Andad adalah sesuatu yang
memalingkan kamu daripada tauhid… daripada Islam, baik itu jabatan,
harta, keluarga. ~umpamya~ seorang ayah yang sangat sayang kepada
anaknya, sedang si anak tersebut dalam keadaan sakit, lalu ada orang
yang menyarankan kepada si ayah tersebut agar si anak yang lagi sakit
itu dibawa ke dukun. Dikarenakan saking sayangnya kepada si anak
tersebut akhirnya si ayah datang ke dukun dan mengikuti apa yang
disarankan oleh si dukun tersebut. Maka dengan demikian si anak tersebut
telah memalingkan si ayah tadi dari tauhid, dan berarti si anak telah
menjadi Andad. Sedangkan Allah berfirman:
فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2]: 22)
Ini semua adalah tentang Andad, dan
singkatnya adalah segala sesuatu yang memalingkan seseorang daripada
Tauhid dan Al Islam disebut Andad[1].
4. Thaghut.
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang Dia firmankan:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada
setiap umat itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya):
Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut…” (QS. An Nahl [16] : 36)
Perintah kufur terhadap thaghut dan iman
kepada Allah adalah inti dari ajaran semua Rasul dan pokok dari Islam.
Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya amal shalih, dan
keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu muslim atau
musyrik, Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Siapa yang kufur terhadap thaghut
dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada
buhul tali yang sangat kokoh (laa ilaaha ilallaah)” (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Bila seseorang beribadah shalat, zakat,
shaum, haji dan sebagainya, akan tetapi dia tidak kufur terhadap thaghut
maka dia itu bukan muslim dan amal ibadahnya tidak diterima.
Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah :
- Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
- Engkau meninggalkannya,
- Engkau membencinya,
- Engkau mengkafirkan pelakunya,
- Dan engkau memusuhi para pelakunya.
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan
yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka
mengatakan kepada kaumnya : “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian
dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran)
kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian
buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja…” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut :
I. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.
Ibadah adalah hak khusus Allah, maka
ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil.
Do’a adalah ibadah sebagaiman firman-Nya Ta’ala:
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Berdo’alah kepada-Ku,
tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang
menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam
keadaan hina” (QS. Al Mukmin [40]: 60)
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam besabda: “Do’a itu adalah ibadah”.
Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah di antara bentuk
pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini
bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali
yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut
maka dia belum kufur terhadap thaghut.
Sembelihan adalah ibadah, dan bila
dipalingkan kepada selain Allah maka hal tersebut adalah syirik lagi
bathil, Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٦٢) لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah, Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagi-Nya” (QS. Al An’am [6] : 162-163)
Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam bersabda: “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)”.
Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam
atau kambing saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia
menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak
kufur terhadap thaghut.
Taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan
taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi
bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu:
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالأنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka menjadikan bagi Allah
satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan
binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka:
“Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami…” (QS. Al An’am [6]: 136)
Jadi orang yang menganggap perbuatan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut…
Wewenang (menentukan/membuat)
hukum/undang-undang/aturan adalah hak Allah. Penyandaran hukum kepada
Allah adalah bentuk ibadah kepadaNya, sedangkan bila wewenang itu
disandarkan kepada makhluk maka itu adalah syirik dan merupakan suatu
bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah ta’ala berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“(Hak) hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah dien yang lurus” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan
menusia agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, dan Allah
namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila
disandarkan kepada makhluk maka hal itu adalah perbuatan syirik,
sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq.
Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat
kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah
orang-orang musyrik” (QS. Al An’am [6]: 121)
Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahwa
sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram,
sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan
kepada wali-walinya: “Hai Muhammad, ada kambing mati dipagi hari, siapakan yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab: “Allah yang telah mematikannya”. Mereka berkata: “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tangan-Nya
Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan
tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian
lebih baik daripada sembelihan Allah” [HR. Hakim]
Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan
untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi
aturan Allah, dan agar setuju dengan penyandaran hukum kepada mereka,
maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan
hal itu berarti mereka telah musyrik. dan dalam ayat lain Allah ta’ala
berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka (orang-orang Nashrani) telahtelah menjadikan para Harb (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli ibadah) sebagai Arbaab
(tuhan-tuhan) selain Allah. Juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka
tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan” (QS. At Taubah [9]: 31)
Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut:
- Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib
- Mereka telah beribadah kepada selain Allah.
- Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
- Mereka telah musyrik
- Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut Allah vonis mereka sebagai Arbaab.
Imam At Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di
hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani
kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan
vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”,
Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah
memvonis kami telah mempertuhankan mereka, atau apa bentuk penyekutuan
atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah
beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau
memohon-mohon kepada mereka? Maka Rasul mengatakan: “Bukankah
mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan
terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah
mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?” Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).”
Jadi orang Nashrani divonis musyrik
karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para
rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Jadi orang Nashrani divonis musyrik
karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para
rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sedangkan pada masa sekarang, orang
meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh
menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang
hukum kepada kedaulatan rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah
syirik, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut dan dia itu
belum muslim. Allah ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan
di atas:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah
adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka
seru selain Dia adalah bathil” (QS. Luqman [31]: 30)
juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ
“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah
adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru
selainNya adalah yang bathil” (QS. Al Hajj [22]: 62)
II. Engkau meninggalkannya
Meyakini perbuatan syirik itu adalah
bathil belumlah cukup, namun harus disertai meninggalkan perbuatan
syiriknya itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil,
akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan
hal tersebut maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Orang yang meyakini
bahwa demokrasi itu syirik, tetapi dengan dalih ‘Maslahat Dakwah’ lalu
ia masuk kedalam system demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur
terhadap thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel
Islam dalam rangka ikut dalam ‘Pesta Demokrasi’
Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (QS. Az Zukhruf [43]: 26)
Jjuga firman-Nya ta’ala tentang Ibrahim ‘alaihissalam:
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah” (QS. Maryam [19]: 48)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan orang yang tidak meninggalkan
syirik, maka dia itu tidak diangap syahadatnya, karena yang dia lakukan
bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata: “Dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun
disamping ibadah kepada Allah dia beribadah kepada yang lain juga, maka
syahadatnya tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat dan
melakukan amalan Islam lainnya” (Ad Durar As Saniyyah : 1/323, Minhajut Ta’sis : 61).
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah
berkata : “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan
para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang
tidak dianggap muslim kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik
akbar dan melepaskan diri darinya” [Ad Durar As Saniyyah : 2/545]. Beliau juga berkata: “Siapa yang berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid” (Syarah Ashli Dienil Islam, Majmu’ah tauhid).
Orang berbuat syirik, dia tidak merealisasikan firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Dan mereka itu tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepada-Nya” (QS. Al Bayyinah [98]: 5).
Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.
Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah
berkata: “Orang yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada
selain Allah maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau
orang fasik, dan sama saja maksudnya itu baik atau buruk” (Durar As Saniyyah : 9/270).
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah
mengatakan: “Sesungguhnya pelafalan laa ilaaha ilallaah tanpa
mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen
terhadap tauhid, meninggalkan syirik, dan kufur kepada thaghut maka
sesungguhnya hal (syahadat) itu tidak bermanfaat, atas ijma (para
ulama)” (Kitab Taisir)
Syaikh Hamd Ibnu Athiq rahimahullah
berkata: “Para ulama ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari
dua macam do’a kepada selain Allah, maka dia telah musrik meskipun dia
mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadur Rasulullah, dia shalat, shaum
dan mengaku muslim” (Ibthal At Tandid : 76).
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya”
Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut.
III. Engkau Membencinya
Orang yang meninggalkan perbuatan syirik
akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap
thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap
syirik dalam merealisasikan tauhid kepadaNya. Allah ta’ala berfirman
tentang Ibrahim ‘alaihissalam:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (QS. Az Zukhruf [43]: 26)
Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”
Kebencian terhadap syirik ini berbentuk
realita, yaitu tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang
berlangsung. Sebagai contoh: orang yang hadir ditempat membuat atau
mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan
pelakunya. Allah Ta’ala berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“Dan sungguh Dia telah menurunkan
kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat
Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama
mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena
sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan),
berarti sama (status) kalian dengan mereka” (QS. An Nisa [4]: 140)
Jadi orang yang duduk dalam majelis di
mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan
atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa
mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para
pelaku kemusyrikan tersebut.
Seandainya kalau tidak dapat mengingkari
dengan lisannya maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang
berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan: “Saya ingkar dan benci dihati saja” sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.
Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu ‘anhu
berijma’ atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah saat salah
seorang di antara mereka mengatakan: “Saya menilai apa yang dikatakan
Musailamah itu bisa jadi benar” dan yang lain hadir di mesjid itu tanpa
mengingkari ucapannya seraya pergi darinya”. (Riwayat para penyusun As
Sunan/Ash habus Sunan).
Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kufar, system kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.
IV. Engkau Mengkafirkan Pelakunya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, di antaranya:
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Dan orang-orang yang menjadikan
sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan): “kami tidak
beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah memutuskan di
antara mereka dihari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan,
sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang dusta
lagi sangat kafir”. (QS. Az Zumar [39]: 3)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan siapa yang menyeru ilaah yang
lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuat buat itu baginya,
maka perhitungannya hanyalah disisi Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung
orang-orang kafir itu” (QS. Al Mukminun [23]: 117)
Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah. Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, di antaranya adalah firman-Nya:
وَإِذَا مَسَّ الإنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلا إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan dari jalan-Nya, katakanlah: “Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka”, (QS. Az Zumar [39]: 8)
Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Siapa
yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala
sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya,
sedangkan perhitungannya adalah atas Allah” (HR. Muslim)
Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda nabi Shalallahu’alaihi wa sallam: “dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah” maksud kalimat tersebut adalah: Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati (Durar As Saniyyah: 291)
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut:
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata: “Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu
akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah
kafir” (Risalah Nawaqidlul Islam).
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Seseorang tidak menjadi muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” (Syarh Ashli Dienil Islam-Majmu’ah Tauhid)
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah
berkata: “Dan sebahagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan
pelaku syirik) dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana
Islam tidak tegak tanpanya” (Mishbahuzh Zhalam: 28). Beliau
berkata lagi: “Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan
orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan)
bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan)
bersama-Nya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang
tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang yang tidak mengagungkan
perintah-Nya, tidak meniti jalan-Nya dan tidak mengagungkan Allah dan
Rasul-Nya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya pengagungan
terhadap-Nya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para
imam umat ini dengan selayaknya” (Mishbahuzh Zhalam: 29).
Para imam dakwah Nejed
berkata: “Di antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah
sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran
mereka karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur
keislaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal
darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para
pelaku syirik” (Durar As Saniyyah: 9/291)
Mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya
orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, dia itu tidak
membenarkan Al Qur’an, karena sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan
para plaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi
mereka dan memerangi mereka” (Ad Durar As Saniyyah: 9/291)
Jadi, takfir (mengkafirkan) para
pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah
sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ulama suu’ (ulama jahat) kakitangan thaghut dan kalangan neo murji’ah.
Orang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu
adalah penerus dakwah rasul-rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai
Khawarij adalah orang yang tidak paham akan dakwah para rasul.
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah
berkata: “Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar
termasuk aqidah Khawarij maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan
umat ini. Dia tidak bisa membedakan antara Dien para rasul dengan
madzhab Khawarij, dia telah mencampakan nash-nash Al Qur’an dan dia
mengikuti selain jalan kaum muslimin” (Mishbahudz Dzalam: 72)
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) di tegakan hujjah atasnya maka dia kafir juga.
Orang yang tidak mau mengkafirkan para
pelaku syirik pada umumnya dia lebih loyal kepada pelaku syirik dan
justru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik.
Demikianlah realita yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam
kekafiran. Tidaklah sah shalat dibelakang orang yang tidak mengkafirkan
pelaku syirik secara mu’ayyan.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata: “Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku
syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka,
atau mengklaim bahwa: “perbuatan mereka itu meskipun bathil tetapi tidak
mengeluarkan mereka pada kekafiran”, maka status minimal orang yang
membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak pula
kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum dibelakangnya” (Ad Durar As Saniyyah: 10/53).
Ini adalah status minimal, adapun kebanyakan berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah:
Orang-orang yang merasa keberatan dengan masalah takfir, bila engkau
mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka
benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik
dan munafikin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama
dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang
pernah bersama kami di Diriyah dan Uyainah yang mana mereka murtad dan
benci akan dien ini. (Ad Durar As Saniyyah: 10/92)
V. Engkau Memusuhi Mereka
Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim ‘alaihissalam. Dan para nabi yang bersamanya:
وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Dan firman-Nya Ta’ala :
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kalian tidak mungkin mendapatkan
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih
sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau karib kerabatnya” (QS. Al Mujadillah [58]: 22)
Syaikh Muhammad rahimahullah
mengatakan: “Sesungguhnya orang tidak tegak keIslamnnya walaupun ia
mentauhidkan Allah dan meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi
para pelaku syirik”. (Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu At Tauhid: 21)
Permusuhan lainnya adalah loyalitas-loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/tauhid, Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Dan siapa yang berloyalitas kepada
mereka (orang-orang kafir) di antara kalian, maka sesungguhnya dia
adalah bagian dari mereka” (QS. Al Maidah [5]: 51)
Karena permusuhan ini Allah Ta’ala berfirman:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik
itu di manapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah
mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian” (QS. At Taubah [9]: 5)
Semua ini adalah cara kufur kepada thaghut…
[1] Materi ini (Alihah,Arbab,Andad) di sadur dari Rangkaian Taushiyah Ust. Aman Abdurrahman
0 komentar:
Posting Komentar